dbclix.com

DbClix

Monday, January 25, 2010

PERBANDINGAN MEKANISME PENGISIAN GUBERNUR DI DAERAH OTONOMI KHUSUS
ACEH DAN PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Yang menjadi latar balakang diberikannya otonomi khusus di Aceh dan Papua oleh pemerintah pusat itu disebabkan terjadinya konflik di dua daerah tersebut dimana kedua daerah tersebut sama-sama di diskriminalisas atau di perlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat. Timbulnya konflik di Aceh dilatar belakangi setidak-tidaknya ada dua fenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976 dengan melakukan perlawanan politik bersenjata. Dengan sistem komando yang sistematis dan mempunyai operator-operator bersenjata untuk membawa gagasan kemerdekaan Aceh. Terjadi perlawanan nyata, kekerasan dilawan dengan kekerasan. Senjata berhadapan dengan senjata. Juga ada perang opini dalam rangka memenangkan misi diplomatik di dunia internasional. Persoalan Aceh lebih di dominasi konflik kekerasan dua belah pihak. Walaupun benturan kultural coba diangkat sebagai isu, namun belum mampu menjadi perlawanan kultural dari etnis rakyat Aceh. Dan adanya persepsi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bahwa Aceh itu bukan wilayah dari NKRI karena Aceh itu sudah terlebih dahulu berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat yang terpisah dari indonesia. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah. Rakyat Aceh dengan hasil alamnya yang berlimpah tapi masyarakatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan berbeda jauh dengan elit-elit di Jakarta, sehingga melatar belakangi lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan terjadinya pengantian nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam dan sekarang telah diubah lagi namanya menjadi Provinsi Aceh berdasarkan Pergub nomor 46 tahun 2009.
Begitu juga halnya dengan konflik di Papua terdapat juga pergerakan melawan pemerintah pusat yang disebut Organisasi Papua Mardeka (OPM) untuk mencapai impianya menjadikan daerah Papua sebagai sebuah negara yang mardeka yang terpisah dari NKRI. Konflik yang terjadi di Papua kalaupun ada tidak sehebat yang terjadi di Aceh bahkan jarang terdengar, akan tetapi konflik di Papua bergerak pada perlawanan kultural, bukan dengan senjata walaupun ada juga perlawanan yang di lakukan dengan senjata tapi itu sangat kecil karena keterbatasan senjata yang dimiliki oleh OPM (Organisasi Papua Mardeka) namun perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Papua dipicu oleh rasa ketidakadilan sosial dan ekonomi. Proses marginalisasi terhadap peran rakyat papua selama ini. Demikian pula kebijakan otonomi yang tidak konsisten dan tidak diterapkan dengan baik serta bertanggung jawab adalah alasan kuat untuk jadi picu perlawanan dengan solidaritas kultural. Dan ada gagasan dari suatu gerakan yang menganggap bahwa masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia tersebut tidak sah, baik di dalam negeri maupun di luar. mereka tidak melakukan perlawanan dengan senjata tapi mereka berwujud pendiskusian gagasan sehingga banyak dari mereka yang melarikan diri ke Australia untuk menghindari konplik. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meredam perlawanan yang di lakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) yaitu dengan memberikan status Otonomi khusus untuk Papua yang terdapat dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2001.




B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari permasalahan yang cukup komplek antara Papua dengan Aceh dimana kedua daerah tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya yang di sebabkan konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka permasalahan yang ingin saya kaji adalah :

1. Bagaimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur di Aceh dan Papua berdasarkan otonomi khusus
2. Apa yang menjadi syarat-syarat untuk dapat menjadi Gubernur di Aceh dan di Papua dan bagaimana perbandingannya di kedua daerah tersebut




C. TUJUAN DAN PENDEKATAN MASALAH

Tujuan dan ruang lingkup dari penulisan makalah ini khususnya mengenai perbandingan antara otonomi khusus di Aceh dengan di Papua yaitu mengenai kedudukan kepala pemerintahan dan fungsi serta kewenangan dalam menjalankan pemerintahan di tingkat daerah dan berdasarkan uraian di atas yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. untuk dapat mengetahui bagaimanakah mekanisme pengisian jabatan Gubernur di Aceh dan Papua berdasarkan otonomi khusus
2. untuk mengetahui apa saja yang menjadi syarat-syarat untuk dapat menjadi Gubernur di Aceh dan Papua dan bagaimana perbandingannya.




BAB II
OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
NEGARA INDONESIA


A. OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA
Otonomi khusus yang yang diberikan oleh Negara Kesatuan Repoblik Indonesia kepada daerah-daerah ditiap provinsi sebagai pengakuan untuk menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-Undang. Daerah-daerah yang di berikan status otonomi Khusus di Indonesia adalah :
1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2. Provinsi Aceh;
3. Provinsi Papua; dan
4. Provinsi Papua Barat.
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
B. DASAR PEMBENTUKAN OTONOMI KHUSUS

1. OTONOMI KHUSUS ACEH
Dalam sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999,mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh.Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui Ketetapan MPR NomorIV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar perubahan (Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) yang relatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa akan berbalik kembali ke arah sentralisasi.
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaanya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dalam mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.
Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.
diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.




2. OTONOMI KHUSUS PAPUA
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151). Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang bercirikan :
1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua





BAB III
MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI ACEH DAN PAPUA
BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS


1. A. MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI ACEH

Mengenai pengisian jabatan Gubernur di Aceh di atur dalam UU no 11 tentang Pemerintahan Aceh dan juga diatur dalam Qanun nomor 7 tahun 2006 tentang pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dalam Pasal 65 ayat (1) UUPA yaitu Gubernur/Wakil Gubernur dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Dan dalam pasal (2) disebutkan Gubernur/Wakil Gubernur memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam Pasal 67 ayat (1) UUPA dan pasal 33 Qanun nomor 7 tahun 2006 Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur diajukan oleh :
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau
d. perseorangan.
Untuk calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang disertai dengan identitas bukti diri dan disertai dengan pernyataan tertulis.




.
1. B. SYARAT-SYARAT CALON GUBERNUR DI ACEH

Syarat untuk dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur Harus memenuhi beberapa syarat yang telah di tentukan dalam pasal 67 ayat (2) UUPA dan pasal 33 ayat (2) Qanun nomor 7 tahun 2006 yaitu sebagai berikut :

a. warga negara Republik Indonesia;
b. menjalankan syari’at agamanya; dan mampu membaca Al-qur’an bagi yang beragama Islam;
c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota; dan
m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

2. A. MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI PAPUA

Mengenai tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Papua ditetapkan dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua kemudian diatur lebih lanjut dengan Perdasus yang harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur di Papua diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan masa jabatan 5 (lima) tahun melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil dan dapat di pilih kembali untuk masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

2. B. SYARAT-SYARAT CALON GUBERNUR DI PAPUA
Berikut mengenai syarat-syarat yang harus di penuhi untuk dapat di pilih menjadi Gubernur di Provinsi Papua adalah sebagai berikut ;
a. orang asli Papua;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
d. berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.


B. PERBANDINGAN MENGENAI MEKANISME PENGISIAN KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG KEPALA DAERAH DI ACEH DAN PAPUA

Pertama ; mekanisme pengisian kepala pemerintah daerah di Aceh di atur dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di atur lebih luas lagi dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan otonomi seluas-luasnya untuk Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dan selanjutnya di atur dalam Qanun, Sedangkan di Papua mengenai mekanisme pengisian kepala pemerintah daerah di Papua di atur dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang selanjutnya diatur dalam Perdasus

Kedua : untuk pemilihan gubernur di Aceh pasangan calon Gubernur dapat di ajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik, partai politik lokal dan calon perorangan sedangkan untuk pemilihan Gubernur di Papua pasangan calon harus diajukan oleh partai politik tidak boleh calon dari perorangan

Ketiga : tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: harus orang asli Papua, berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara, berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; sedangkan di Aceh sebagaimana di tentukan dalam pasal 67 ayat (2) UUPA dan juga di atur dalam Qanun nomor 7 tahun 2006 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur harus memenuhi syarat yaitu warga negara Repoblik Indonesia menjalankan syariat agamanya dan mampu membaca Al-Quran bagi yang beragama Islam, berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun, tidak pernah melakukan tindak pidana yang di ancam 5 tahun penjara kecuali tindak pidana makar dan politik yang telah memperoleh Amnesti/Rehabilitasi.


BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan hasil uraian yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang telah disinggung pada bab terdahulu, pada bab penutup ini dapat saya kemukakan beberapa kesimpulan mengenai Otonomi Khusus di Aceh dan Papua yaitu sebagai berikut :


A. KESIMPULAN
Pertama ; Dari segi struktur kultural sangat berbeda antara Aceh dengan Papua dimana sebagian masyarakat papua berkulit hitam dan memeluk kristen sebagai agamanya sementara itu di Aceh masyarakatnya tergolong berkulit coklat dan beragama islam dengan menjalankan syariat islam sehingga kedua daerah tersebut di berikan otonomi khusus yang berbeda-beda antara Papua dengan Aceh kerena daerah otonomi tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda mulai adat-istiadat,suku dan ras dan bahasa yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainya.
Kedua ; Latar belakang diberikan Otonomi Khusus di Aceh itu di sebabkan Oleh Konflik antara Gerakan Aceh Mardeka (GAM) tahun 1976 dengan pemerintah pusat sehingga lahirnya UU no 18 tahun 2001 tentang Otonomi Aceh dan setelah musibah Gempa dan Tsunami dan adanya kesepakatan damai MoU Helsinki di berikannya Otonomi seluas-luasnya kepada Aceh dalam UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, di Papua di berikannya Otonomi Khusus di latar belakangi oleh perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM) karena mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat sehingga di berikannya Otonomi Khusus Untuk Papua dalam UU nomor 21 tahun 2001.
Ketiga ; untuk pemilihan gubernur di Aceh pasangan calon Gubernur dapat di ajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik, partai politik lokal dan calon perorangan sedangkan untuk pemilihan Gubernur di Papua pasangan calon harus diajukan oleh partai politik tidak boleh calon dari perorangan
Keempat ; Syarat untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Aceh yaitu warga negara Indonesia yang menjalankan syariat agamanya dan pendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas sedangkan syarat untuk dapat menjadi Kepala daerah (Gubernur) di Papua harus orang asli Papua dan pendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau setara dengannya.(ikhz)











DAFTAR PUSTAKA


BUKU-BUKU
DR. Husni Jalil, S.H, M.H, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam negara Kesatuan RI berdasarkan UUD 1945,CV Utomo, Bandung, 2005
Ni’Matul Huda S.H, M.Hum, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Undang undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Website
1. www.google.com\otonomi khusus\Menggugat Implementasi Otonomi Khusus di Papua.htm
2. www.google.co.id\Otonomi Khusus di Aceh dan Papua.htm
3. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5469&coid=3&caid=21&gid=2
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua

Makalah Study Kasus Hukum Tata Negara

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU ATAS GUGATAN MURSYID (CALON DPD ACEH) TERHADAP KPU DI MAHKAMAH KONSTITUSI


BAB I
PENDAHULUAN


1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Yang menjadi permasalahan utama permohonan Pemohon adalah perselisihan terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 255/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 9 Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 khususnya terhadap penghitungan perolehan suara sah dan peringkat perolehan suara sah calon anggota DPD Pemilu Tahun 2009 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor Urut 20 atas nama Mursyid yang telah kehilangan perolehan suaranya sebanyak 30.136 (tiga puluh ribu seratus tiga puluh enam) selisih suara yang benar menurut Pemohon adalah 118.149 (seratus ribu delapan belas seratus empat puluh sembilan suara) dan bukan 88.013 (delapan puluh delapan ribu tigabelas) suara, sebagaimana keputusan KPU Nomor 255/Kpts/KPU/TAHUN 2009. Selisih ini disebabkan karena Turut Termohon I tidak menggunakan hasil Rekapitulasi Turut Termohon II untuk memasukkan data suara dari Kabupaten Bener Meriah dengan jumlah 48.022 (empat puluh delapan ribu dua puluh dua) suara melainkan menggunakan data Pembanding dari Panwaslu Provinsi NAD yang menyatakan jumlah suara Pemohon sebesar 17.886 (tujuh belas ribu delapan ratus delapan puluh enam) suara. Akibat dari kekurangan suara ini, Pemohon yang seharusnya menduduki peringkat 4 (empat) perolehan suara DPD NAD turun menjadi peringkat ke 6 (enam) sehingga tidak mendapatkan hak kursi DPD NAD.

2. RUMUSAN MASALAH

Dari permasalahan diatas yang cukup komplek mengenai perselisihan hasil pemilihan umum antara calon anggota DPD asal Aceh atas nama Mursyid yang mengugat Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Independen Pemilihan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai turut termohon I (satu) dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten Bener Meriah sebagai turut termohon II (dua) di Mahkamah Konstitusi, maka permasalahan yang ingin saya kaji adalah :
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi mengenai gugatan calon DPD asal Aceh tersebut.
2. bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan tersebut.


3. TUJUAN DAN PENDEKATAN MASALAH

Tujuan dan pendekatan masalah dari penulisan makalah ini khususnya mengenai gugatan perselisihan hasil pemilihan umum calon anggota DPD asal Aceh atas nama Mursyid yang mengugat KPU Pusat, KIP Aceh sebagai turut termohon I dan KIP Kabupaten Bener Meriah sebagai turut termohon II, dan berdasarkan uraian diatas yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengetahui bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi mengenai gugatan calon DPD asal Aceh tersebut.
2. Untuk dapat mengetahui bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN



1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman salah satu kewenangan Mahkamah adalah memutus tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum;
sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. kewenangan Mahkamah memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;
2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;
3. tenggang waktu pengajuan permohonan.

Terhadap ketiga hal dimaksud, Mahkamah berpendapat sebagai berikut :

a. Kewenangan Mahkamah Memeriksa, Mengadili, Dan Memutus Permohonan A Quo
Dengan menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan keberatan atas penghitungan suara hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan secara nasional oleh KPU berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 255/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 9 Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.

b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Untuk Mengajukan Permohonan A Quo
Dengan menimbang bahwa Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 258 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 5 huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor Urut 20 oleh karenanya Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

c. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan
Dengan menimbang bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 255/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 9 Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 diumumkan pada tanggal 9 Mei 2009 pukul 23.50 WIB, sedangkan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum oleh Pemohon diajukan ke Mahkamah pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 2009, jam 16.50 WIB berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 82/PAN.MK/2009 yang kemudian diregistrasi pada tanggal 12 Mei 2009, jam 17.30 WIB dengan Akta Registrasi Perkara Nomor 83/PAN.MK/2009; Oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK juncto Pasal 259 ayat (2) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Pasal 6 ayat (1) PMK 16/2009 menentukan, Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional, sehingga oleh karenanya pengajuan permohonan Pemohon memenuhi tenggang waktu yang ditentukan.


BAB III
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)


1. Pemohonan Pemohon Pada MK
Pemohon dalam permohonannya sebagaimana dalam bagian Duduk Perkara pada pokoknya mendalilkan bahwa Pemohon telah kehilangan 30.136 (tiga puluh ribu seratus tiga puluh enam) suara, untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P- 15 dan 2 (dua) orang saksi yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan Mahkamah masing-masing bernama M. Yusuf dan Agustia Feriandi, S.Pi, pada tanggal 27 Mei 2009, yang keterangan lengkapnya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya menyatakan bahwa Turut Termohon I tidak menggunakan data perolehan suara dari Turut Termohon II untuk rekapitulasi jumlah suara calon anggota DPD NAD dengan menggunakan data pembanding dari Panwaslu NAD.
Kemudian Termohon telah memberikan keterangan di hadapan persidangan yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara yang pokoknya menyanggah dalil Pemohon dan tetap berpegang pada hasil Pleno KIP NAD (Turut Termohon I) yang menyatakan suara Pemohon adalah 88.013 suara bukan 118.149 sebagaimana yang didalilkan Pemohon, khususnya suara Pemohon dari Kabupaten Benar Meriah sesuai data Formulir Model DC1 DPD yang telah ditandatangani oleh Turut Termohon I dan Saksi Para Calon Anggota DPD adalah berjumlah 17.886 (tujuh belas ribu delapan ratus delapan puluh enam) suara.

2. Jawaban Termohon I Di Hadapan MK
Termohon I telah memberikan jawaban pada Mahkamah Konstitusi secara tertulis dan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 27 Mei 2009 dan 4 Juni 2009 serta bukti-bukti surat yang diberi tanda TT1-1 sampai dengan TT1-6 yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya menyatakan bahwa telah menggunakan Pasal 192 ayat (3) jo Pasal 227 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 dan Pasal 38 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 46 Tahun 2008 untuk menindaklanjuti keberatan terhadap rekapitulasi penghitungan perolehan suara di Kabupaten Bener Meriah yakni dengan memperbaiki rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang dibuat Turut Termohon II dengan menggunakan data pembanding yang dimiliki oleh saksi dan Panwaslu NAD dimana baik saksi maupun Panwaslu NAD memiliki data yang sama.

3. Jawaban Termohon II Di Hadapan MK
KIP Kabupaten Bener Meriah (Turut Termohon II) telah memberikan keterangan dalam persidangan pada 4 Juni 2009 dan bukti TT 2-1 sampai dengan TT2-7 pada pokoknya membenarkan bahwa suara Pemohon di Kabupaten Bener Meriah adalah 48.022 berdasarkan hasil rekapitulasi dan hasil Pleno KIP Kabupaten Bener Meriah, serta menyatakan bahwa Turut Termohon I tidak memberikan kesempatan bagi Turut Termohon II untuk melakukan perbaikan rekapitulasi jika terjadinya perbedaan jumlah suara yang diterima oleh Turut Termohon I. Bahkan Turut Termohon I tidak pernah melibatkan Turut Termohon II dalam melakukan perubahan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang dibuat Turut Termohon II di tingkat Provinsi NAD, dan Ketua KIP Kabupaten Aceh Tengah dalam keterangannya menyatakan bahwa Turut Termohon II telah menghadiri rapat Pleno KIP NAD serta telah melayangkan keberatan melalui SMS mengenai ketidakabsahan penggunaan data pembanding sebagai dasar rekapitulasi suara Turut Termohon I, dan juga Panwaslu NAD telah memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah tanggal 4 Juni 2009 dan juga telah menyerahkan beberapa dokumen berkenaan dengan terjadinya perubahan hasil rekapitulasi Turut Termohon II yang telah dilakukan perubahan oleh Turut Termohon I yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara.



BAB IV
PERTIMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Permasalahan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah apakah penggunaan data pembanding yang dilakukan oleh Turut Termohon dalam merekap perolehan suara DPD di Kabupaten Bener Meriah memiliki landasan hukum yang sah.

1. Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Eksepsi
Bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan eksepsi yang diajukan oleh Termohon Bahwa dalil Pemohon sangat tidak berdasar, mengingat yang mengalami kerugian bukan hanya Pemohon sendiri tetapi semua calon anggota DPD juga mengalami kerugian jika penghitungan suara yang dilakukan oleh Turut Termohon I tidak benar.
Kemudian eksepsi yang diajukan oleh Termohon, Mahkamah berpendapat bahwa eksepsi tersebut merupakan hal-hal yang berkenaan dengan pokok permohonan sehingga oleh karenanya eksepsi Termohon menjadi tidak beralasan. Dalam Pokok Perkara Turut dibenarkan oleh Termohon II bahwa perolehan suara Pemohon sebagaimana keterangannya dalam persidangan pada tanggal 4 Juni 2009, suara Pemohon di Kabupaten Bener Meriah adalah sebanyak 48.022 suara;
Dari bukti-bukti surat maupun saksi yang terungkap di persidangan, laporan atas dugaan pelanggaran, penyimpangan dan atau kesalahan oleh Panwaslu Provinsi NAD kepada Turut Termohon I tidak pernah ada sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 192 ayat (1) UU No.10 Tahun 2008. Melainkan Surat Panwaslu Propinsi Aceh Nomor 1559/Panwaslu-Aceh/IV/2009 tanggal 28 April 2009 perihal rekomendasi, yang isi surat tersebut menyatakan adanya manipulasi perolehan suara pemilu di wilayah Kabupaten Bener Meriah yang dilakukan oleh Turut Termohon II disampaikan kepada Turut Termohon I. Surat Panwaslu tersebut dibuat dan disampaikan satu hari (28 April 2009) setelah Turut Termohon I melakukan perbaikan hasil rekapitulasi Turut Termohon II (27 April 2009)
Kemudian berdasarkan keterangan Turut Termohon I di persidangan Mahkamah dan Bukti P-4 yang bersangkutan menerangkan perubahan rekapitulasi dilakukan pada tanggal 27 April 2009 sehingga secara fakta pelaksanaan perubahan yang dilakukan oleh Turut Termohon I menyimpang dari ketentuan Pasal 192 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008. Hal tersebut menurut Mahkamah justru bertentangan dengan maksud dari Pasal 192 UU No. 12 Tahun 2009 sebagai landasan yang benar untuk melakukan perubahan.
Kemudian penggunaan Pasal 227 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 yang juga dijadikan sebagai dasar dilakukannya perubahan oleh Turut Termohon I terhadap hasil rekapitulasi Turut Termohon II dengan menggunakan data pembanding dari Panwaslu NAD tanpa mengikutsertakan Turut Termohon II adalah suatu tindakan semena-mena, prematur dan tidak dibenarkan menurut hukum, mengingat Pasal 227 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan “dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU Kabupaten/Kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU Provinsi... dst.” maka KPU Provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekkan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan tindakan Turut Termohon I yang telah melakukan perubahan hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh Turut termohon II tanpa mengikut sertakan Turut Termohon II adalah tindakan yang tidak sah menurut hukum oleh karenanya menurut Mahkamah dalil-dalil Permohonan Pemohon beralasan.


BAB V
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa:
1. Eksepsi Termohon tidak beralasan;
2. Dalil Permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum.

Dengan Mengadili, Dalam Eksepsi Menolak Eksepsi Termohon. Dalam Pokok Perkara
1. Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya.
2. Menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 255/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 dan Keputusan KIP Nanggroe Aceh Darussalam tentang penetapan hasil penghitungan suara untuk calon anggota DPD Nanggroe Aceh Darussalam nomor urut 20 atas nama Mursyid di Kabupaten Bener Meriah.
3. Menyatakan bahwa perolehan suara yang benar bagi calon anggota DPD Nanggroe Aceh Darussalam nomor urut 20 atas nama Mursyid di Kabupaten Bener Meriah adalah sebesar 48.022 suara sehingga jumlah suara keseluruhan menjadi 118.149 suara.
4. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen Pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam untuk melaksanakan Putusan ini.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal 12 Juni 2009 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal 15 Juni 2009 oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Qurrata Ayuni sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon 43 dan/atau Kuasanya, Komisi Pemilihan Umum atau yang mewakili, Komisi Independen Pemilihan NAD dan/atau yang mewakili.













BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kita tarik berdasarkan hasil uraian diatas mengenai gugatan perselisihan hasil pemilihan Umum calon anggota DPD asal aceh atas nama Mursyid kapada KPU Pusat, KIP Aceh dan KIP Bener Meriah, yang dalam permohonannya mendalilkan bahwa Pemohon telah kehilangan 30.136 (tiga puluh ribu seratus tiga puluh enam) suara, untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P- 15 dan 2 (dua) orang saksi yang dalam keterangannya di persidangan menyatakan bahwa Turut Termohon I tidak menggunakan data perolehan suara dari Turut Termohon II untuk rekapitulasi jumlah suara calon anggota DPD NAD dengan menggunakan data pembanding dari Panwaslu NAD.
Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa perolehan suara yang benar bagi calon anggota DPD Nanggroe Aceh Darussalam nomor urut 20 atas nama Mursyid di Kabupaten Bener Meriah adalah sebesar 48.022 suara sehingga jumlah suara keseluruhan menjadi 118.149 suara. Dan selanjutnya Mahkamah Konstitusi memerintahkan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen Pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam untuk melaksanakan Putusan ini .