Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura' LussySejarah Oleh : Redaksi 08 Jun 2004 - 9:00 am
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.
Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan "Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit". Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu.
Di bagian lain, Sapija menafsirkan, "Selamat tinggal saudara-saudara", atau "Selamat tinggal tuang-tuang". Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis.
Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, "Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja."
Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.
Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja yang orang Batak, sebenarnya juga seorang Muslim karena selalu mengibarkan bendera merah putih. Begitu pula Pattimura.
Ada apa dengan bendera merah putih? Mansyur merujuk pada hadits Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Mu'adz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma' Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih".
Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu A'lam Bish Shawab.* (dari berbagai sumber)
JADI GINI,,TULISAN YANG GUE TULIS INI HANYA ISI DARI APA YANG ADA DI KEPALA GUE,ADA JUGA TUGAS-TUGAS KULIAH GUE YANG KUTULIS DISINI DAN ADA JUGA TULISAN-TULISAN DARI WEBSITE LAIN AQ UPLOAD DISINI,,BIAR CORETANNYA TAMBAH RAMEE GITOE,,TETAPI BEBERAPA CORET-CORETAN GUE DISINI GUE LEBIH-LEBIHKAN BIAR CERITANYA NYAMBUNG, ITU AJA SICH,,,,,,SALAM DANGDUT BROE
Monday, November 30, 2009
Aceh : Mengapa Dia Berontak, Mengapa Mereka BerontakSejarah Oleh : Redaksi 22 Aug 2003 - 8:47 am
58 tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan Belanda.
Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.
Mengapa Aceh Berontak?
Apa yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17 Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, terlepas dari RI.
Perbedaan suasana yang mencolok di provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.
Terlepas dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat diraih.
Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya. Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit, bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Bila kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya, tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat gerakan separatisnya.
Lantas, bagaimana menyelesaikan kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional, dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.
Rekonsiliasi pada dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe, sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung selesai."
Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal, bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang. Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.
Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak
TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.
Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.
Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.
Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.
Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"
Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.
Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.
Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?
Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.
Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?
Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.
"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan)
58 tahun negara ini berdiri: Aceh masih bergolak. Indonesia memang kenyang dengan gerakan separatis, tapi mungkin tak cukup arif menarik pelajaran dari pengalaman. Di Aceh, seorang ulama, tokoh masyarakat karismatik, Teungku Daud Beureueh, mengangkat senjata melawan pemerintah pusat pada 1953. Ironis sekali. Teungku Daud adalah orang yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah setia. Ia mencintai Indonesia merdeka: dihimpunnya dana masyarakat Aceh untuk membiayai perjuangan militer dan diplomatik RI melawan tekanan Belanda.
Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.
Mengapa Aceh Berontak?
Apa yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17 Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, terlepas dari RI.
Perbedaan suasana yang mencolok di provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.
Terlepas dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat diraih.
Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya. Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit, bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Bila kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya, tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat gerakan separatisnya.
Lantas, bagaimana menyelesaikan kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional, dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.
Rekonsiliasi pada dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe, sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung selesai."
Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal, bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang. Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.
Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak
TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.
Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.
Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.
Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.
Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"
Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.
Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.
Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?
Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.
Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?
Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.
"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan)
Mencari Akar Kekerasan Militer di Aceh: 1989-1998Sejarah Oleh : Redaksi 26 Jun 2003 - 1:01 am
Aceh, daerah yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari ini masih terus menerus di rundung berbagai bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan berbagai gerakan perlawanan baik sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan daerah ini sebagai daerah operasi militer terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan 1998 dengan sandi operasi militernya yang terkenal: Operasi Jaring Merah.
Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini. Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan Melayu-Muslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.[1] Ketika Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial, daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga 1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (1945-1949). Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas sebagai sebuah provinsi. Karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI) dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah ditepati.
Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi, sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih. Secara legal formal Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak istimewa”. Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi, sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local. Lebih jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang memadai bagi masyarakat Aceh.[2] Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin. Situasi ini antara lain yang membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.
Kedua pendekatan ini mampu menjelaskan mengapa rakyat Aceh memberontak atau terus menerus melakukan perlawanan. Akan tetapi keduanya tidak cukup mampu menjelaskan mengapa kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi secara massif di Aceh.
Keberadaan GAM dengan tuntutannya untuk memerdekakan Aceh, menjadi alasan utama pemerintah Orde Baru untuk menjadikan daerah ini tempat operasi militer. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya GAM dan anggota GAM yang menjadi target operasi militer. Militer Indonesia melakukan indiscriminate violence, menjadikan semua penduduk sebagai target, sehingga masyarakat Aceh terteror dan terus menerus berada dalam tekanan. Pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang terdengar hampir setiap hari.[3] Menurut Robinson, selama sepuluh tahun masa DOM sekitar 2000 orang telah tewas dan lebih banyak lagi yang tidak sempat terhitung, termasuk yang ditahan, dianiaya, dan wanita-wanita yang diperkosa. Al Chaidar mencatat ada sekitar 3800 hingga 5000 orang yang terbunuh dan yang tidak terhitung jauh lebih banyak lagi. Sementara Ishak menyatakan bahwa sekitar tujuh ribu orang telah tewas selama masa 1989 hingga 1998. Sedangkan data dari Tapol, sebuah NGO internasional berbasis di London, dengan mengutip berbagai laporan dari human rights groups, adalah sebagai berikut: 3000 warga sipil terbunuh; 3862 hilang; 4663 mengalami penganiayaan; 186 diperkosa; 16 ribu anak kehilangan orang tua; dan 90 ribu lainnya menjadi pengungsi dan tidak lagi memiliki tempat tinggal. Sedikitnya 100 kuburan massal ditemukan, satu diantaranya menampung 200 mayat yang mengalami penganiayaan berat. Diantara penduduk yang masih bertahan di Aceh, ada sekitar 170 ribu orang yang mengalami trauma berat dan sekitar 6800 orang mengalami sakit mental atau jiwa.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan betapa brutalnya militer Indonesia terhadap rakyatnya sendiri. Mengapa harus melakukan indiscriminate violence kalau hanya untuk menumpas pemberontak? Faktor apakah yang bisa menjelaskan perilaku kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dikalangan militer Indonesia ini? Pertanyaan penting tersebut akan coba ditelusuri lewat tulisan ringkas ini. Pada dasarnya tulisan ini berpendapat bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil dalam skala yang luas di Aceh di masa DOM terutama disebabkan oleh kebijakan dan praktek militer Indonesia. Perilaku kekerasan militer ini ada kaitannya dengan citra diri (self perception) militer. Sebagai pencerminan lebih jauh dari citra diri ini adalah persepsi militer terhadap sipil di Indonesia dan persepsi militer terhadap ancaman (threats). Persepsi ini akan ditelusuri dengan menganalisa secara ringkas doktrin dan sejarah tentara di Indonesia. Kebijakan-kebijakan militer yang antara lain mencerminkan citra dirinya di implementasikan oleh rejim yang sangat represif dimana militer berada dalam kontrol penguasa tunggal Orde Baru yakni Suharto.[4]
Militer di Aceh di Masa DOM
Operasi Jaring Merah adalah nama sandi resmi dari operasi militer tentara Indonesia di Aceh dari tahun 1989 sampai dengan 1998. Keberadaan operasi ini menjadikan Aceh kemudian dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), sebuah nama yang tidak resmi dan bukan berasal dari pemerintah Indonesia namun menjadi sangat popular di kalangan masyarakat dan dunia internasional.
Gerakan separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakhir era 1980-an makin hari makin mendapatkan dukungan yang meluas. Dukungan itu tampak sangat jelas didaerah-daerah yang menjadi kantong-kantong GAM seperti Pidie di Aceh Utara dan Aceh Timur di masa pertengahan tahun 1990. Sejak diproklamasikannya GAM pada tahun 1976, sebetulnya pemerintah telah memberlakukan operasi territorial didaerah ini. Melalui serangkaian serangan militer oleh ABRI, GAM berhasil di tumpas diakhir 1970-an atau awal 1980-an.[5] Namun melalui serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi dan tentara, gerakan ini tampak menguat kembali di tahun 1989. Peningkatan serangkaian serangan ini tampaknya terkait dengan strategi GAM yang menjadikan fase mulai tahun 1989 sebagai fase perlawanan bersenjata secara penuh setelah sebelumnya melalui fase penanaman kesadaran politik dan publikasi pers.[6] Setelah sejumlah kegagalan dalam serangan operasi teritoral di akhir 1980-an itu, ABRI melalui Komandan Komando Resort Militer (Korem) di Banda Aceh menurunkan lagi sejumlah enam ribu anggota pasukan sehingga jumlah keseluruhan tentara di lapangan saat itu menjadi duabelas ribu personil. Mulai saat itulah operasi militer dibawah DOM menjadi makin intensif diseluruh wilayah Aceh, terutama yang menjadi kantong-kantong GAM.
Bagaimanakah strategi militer dalam melancarkan operasi kekerasan agar benar-benar efektif mencapai sasaran guna penumpasan GAM? Menurut Geoffrey Robinson, strategi kekerasan militer ini dapat dibagi menjadi dua.[7] Pertama adalah institusionalisasi teror sebagai suatu upaya untuk menghadapi apa yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security). Cara ini meliputi berbagai metode seperti pemberlakuan jam malam, pencarian dari rumah ke rumah, penangkapan secara sembarangan, penganiayaan terus-menerus terhadap para tertuduh yang ditahan, pemerkosaan terhadap para perempuan yang dianggap memiliki kaitan dengan GAM, dan penembakan atau eksekusi di depan publik. Kedua, mobilisasi secara paksa dan sistematis para rakyat sipil. Tujuan dari hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga asisten lapangan dan mata-mata dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan (counter insurgency operations). Strategi mobilisasi rakyat sipil ini dilunakkan istilahnya menjadi menjadi “kerjasama sipil-militer”.
Salah satu bentuk strategi kedua ini yang sangat terkenal adalah operasi pagar betis. Dalam hal ini penduduk sipil dipaksa untuk menyapu daerah didepan pasukan ABRI dan berhadapan dengan musuh (orang yang diduga GAM) di front line. Dengan cara ini ABRI dapat memaksa penduduk untuk tidak terpencar-pencar ataupun berbalik dari daerah pertempuran. Dan para penduduk sipil ini tidak punya pilihan kecuali dua: menembak pemberontak atau ditembak tentara. Militer juga mempekerjakan unit-unit keamanan/kewaspadaan lokal dan ronda-ronda malam yang seolah-olah dibentuk oleh penduduk namun berada dibawah perintah ataupun pengawasan militer. Beberapa yang terkenal dari kelompok-kelompok ini adalah Unit Kesatria Penegak Pancasila, Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa, dan Lasykar Rakyat. Sebelum bergerak, mereka ini mendapatkan training militer, lalu dipersenjatai dengan pisau, lembing, dan parang, kemudian diperintahkan untuk memburu para pemberontak atau para pendukung GAM. Bila masyarakat menolak atau gagal menunjukkan komitmen dalam membasmi musuh dengan cara mengidentifikasi, menangkap ataupun membunuh, biasanya akan berakhir dengan hukuman oleh militer termasuk penganiayaan didepan publik, penangkapan, dan penembakan. Strategi lain yang juga dipergunakan militer adalah merekrut penduduk lokal untuk menjadi mata-mata dan informan bagi militer. Istilah resmi untuk mereka ini adalah Tenaga Pembantu Operasi (TPO). Masyarakat Aceh menyebut hal ini sebagai cu’ak. Maknanya kira-kira sama dengan pengkhianat. Salah satu akibat dari hal ini adalah tersebarnya atmosfir ketakutan dan saling curiga antar penduduk serta kecenderungan penduduk untuk diam dan berbicara yang baik-baik saja didepan orang lain.
Dalam hal melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil Al Chaidar mencatat berbagai kasus yang tergolong sebagai “supersadistis”.[8] Menurut Al Chaidar:
Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler dimanapun didunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—dimana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran diantara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penindasan dimana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematinannya.[9]
Beberapa contoh yang dimaksud Al Chaidar dengan kasus-kasus yang supersadistis itu adalah: korban digorok lalu rumahnya dibakar; korban diikat, ditarik ramai-ramai, lalu ditembak; korban diganduli batu, lalu dibenam ke sungai; korban yang sudah ditembak dan dimakamkan oleh masyarakat, namun tentara memerintahkan dibongkar kembali untuk diambil fotonya untuk dijadikan contoh bagi masyarakat yang berani melawan; penculikan, yang sampai dengan 13 Juli 1998 telah terjadi 137 kasus; penduduk dijadikan tameng saat tentara bertempur melawan GPK; tangan dibedah, lalu ditetesi air cuka; kepala korban dikuliti didepan anaknya; korban ditembak didalam sumur; seorang suami diusir dari rumahnya, lalu istrinya disetrum; korban dipaksa bersanggama dengan tahanan wanita; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.[10]
Seperti telah dikemukakan dalam bagian pengantar tulisan ini, penerapan DOM di Aceh selama lebih kurang sepuluh tahun telah menghasilkan statistik korban yang dapat menggambarkan betapa kekerasan yang terjadi begitu brutal. Belum lagi bila kita menghitung korban dalam pengertian non fisik dan non manusia seperti hancurnya sendi-sendi dan infrastruktur sosial dan budaya masyarakat Aceh. Dari perspektif hak-hak asasi manusia, apa yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Aceh telah memenuhi syarat-syarat untuk disebut sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam Nuremberg Charter of 1945, pada pasal 6(c), kejahatan atas kemanusiaan di definisikan sebagai:
… pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pengasingan, dan perilaku tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum ataupun selama perang berlangsung, atau penyiksaan atas dasar politik, ras,ataupun relijius dalam kaitannya dengan suatu bentuk kejahatan dalam yurisdiksi suatu pengadilan, tanpa memperhatikan apakah pelanggaran itu bertentangan dengan hukum negara pelaku atau tidak.[11]
Sedangkan dalam International Criminal Court (ICC) statute dinyatakan bahwa kejahatan atas kemanusiaan adalah satu atau lebih dari tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan dan ancaman secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil, dengan kesadaran pengetahuan yang memadai atas penyerangan itu.[12]
Sejarah, Doktrin, dan Citra Diri Militer Indonesia
Doktrin adalah sesuatu yang sangat esensial dalam dunia militer atau tentara, “karena dari doktrinlah mengalirnya pengaturan posisi, fungsi, dan peran suatu tentara.”[13] Doktrin TNI, Dwifungsi, menurut Salim Said, bukan hanya menjelaskan posisi, fungsi, dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi sekaligus juga menunjukkan citra diri TNI serta cara TNI melihat masyarakat sekelilingnya.[14] Namun doktrin bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan memiliki akar sejarah dan politik yang terkait dengan perjalanan suatu bangsa.
Doktrin Dwifungsi menyatakan bahwa ABRI atau TNI, sejak perang kemerdekaan di tahun 1940-an telah memainkan peranan yang sangat penting sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Tentara Indonesia memandang dirinya sebagai pengawal revolusi dan negara.[15] Dalam doktrin Tri Ubaya Cakti 1965, TNI digambarkan sebagai “anak revolusi”, tentara rakyat, tentara pejuang, dan kekuatan progresif revolusioner yang akan selalu membela dengan gigih hingga titik darah penghabisan: Sang Saka Merah Putih, bhineka tunggal ika, dan Pancasila, MANIPOL/USDEK, dan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dengan ajaran-ajarannya.[16] Doktrin ini, karena dibuat masih dalam masa Soekarno tampak juga mengadopsi sejumlah slogan kiri yang memang biasanya sering digunakan oleh sang presiden. Versi doktrin Tri Ubaya Cakti ini menekankan bahwa TNI adalah kekuatan sosial politik yang sekaligus juga kekuatan militer. Dan sebagai bagian dari kekuatan progresif revolusioner ia merupakan alat revolusi, demokrasi, dan aparatur negara.
Setelah jatuhnya rejim Soekarno, tentara mendirikan Orde Baru. Keputusan untuk mendirikan Orde Baru ini diawali di seminar Angkatan Darat kedua pada bulan Agustus 1966 di Bandung. Keputusan tentara untuk mendirikan dan mendukung rejim Orde Baru didasarkan pada asumsi bahwa tentara memiliki hak untuk mengatur persoalan-persoalan non militer, suatu pandangan yang sebelumnya telah diinstitusionalisasi sebagai doktrin dwifungsi. Doktrin Tri Ubaya Cakti kemudian di modifikasi, slogan-slogan kirinya dibersihkan, dan posisi tentara dibidang politik makin dipertegas dan diperkuat. Tentara menampilkan dirinya sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dengan menyatakan bahwa segenap harapan rakyat Indonesia telah digantungkan di pundak mereka dan karena itu tentara tidak punya pilihan lain selain daripada melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan jalan membangun pemerintah yang kuat dan stabil.[17]
Doktrin Tri Ubaya Cakti ini terdiri atas empat doktrin operasional. Pertama, Doktrin Pertahanan Darat Nasional yang mengatur penggunaan tentara diberbagai operasi militer dan menyatakan bahwa tugasnya adalah untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan revolusi Indonesia. Kedua, Doktrin Kekaryaan yang menyatakan bahwa tentara adalah kelompok fungsional yang akan selalu mengambil peran aktif didalam pembangunan kehidupan nasional serta melindungi kepentingan nasional. Ketiga, Doktrin Pembinaan yang menganalisa perkembangan masyarakat melalui kesiapan, ketahanan ideologi, agama, persoalan sosial dan kultural serta persoalan sosial militer. Dan keempat, Doktrin Perang Rakyat Semesta yang mengimplementasikan ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti ini, pada bulan Nopember 1966 diubah menjadi Catur Darma Eka Karma (CADEK) dengan perubahan substansi yang tidak signifikan. CADEK inilah yang kemudian menjadi doktrin ABRI secara keseluruhan.
Pada tahun 1988 doktrin CADEK diperbaharui kembali. CADEK kembali menyatakan dwifungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Dinyatakan juga bahwa hal ini didasarkan pada tujuan utama ABRI yakni mendukung perjuangan mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[18] Sebagai kekuatan sosial politik ABRI memandang dirinya sebagai kekuatan yang keperansertaannya menentukan tujuan, haluan, dan politik negara dan sebagai pelopor, dinamisator, serta stabilisator didalam setiap upaya mengisi kemerdekaan bangsa.[19]
Sementara itu, didalam dokumen Hakekat Kekaryaan ABRI dinyatakan bahwa ABRI adalah kelompok fungsional karena kontribusinya yang demikian besar dalam perjuangan kemerdekaan dan partisipasinya dalam membangun masa depan.[20] Sedangkan dalam dokumen Darma Pusaka 45 dinyatakan bahwa identitas TNI adalah memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal ini berbeda dengan kepentingan dan cara kerja kelompok lainnya (baca: sipil) yang tidak mendukung kepentingan nasional secara keseluruhan.[21] Menurut ABRI, peran-perannya didalam menyelesaikan masa-masa kritis telah diakui oleh masyarakat. Segala konsep dan kebijakan ABRI selalu menguntungkan rakyat karena didesain bukan hanya untuk ABRI tapi untuk seluruh masyarakat.
Penampilan citra diri tentara seperti telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa tentara meyakini dan menampilkan dirinya -karena sejarah, kemampuan dan komitmennya-sebagai elemen yang paling terpercaya dan selalu siap untuk menjaga dan membangun bangsa ini. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana tentara memandang lingkungannya baik itu menyangkut masyarakat lainnya yakni sipil maupun dalam hal merumuskan dan memandang apa yang dimaksud dengan ancaman (threats).
Salim Said menyatakan bahwa salah satu hal yang paling konsisten dalam pemikiran TNI, selain kebencian kepada liberalisme, adalah sikap tidak percaya kepada sipil.[22] Menurut Salim, Panglima Besar Soedirman kurang percaya kepada politisi sipil baik yang di pemerintahan maupun yang di oposisi. Untuk itu beliau melibatkan diri dalam politik dengan tujuan menjaga otonomi tentara terhadap usaha “rebutan tentara” oleh para politisi. Nasution kecewa kepada kekuatan politik yang dianggapnya mencampuri urusan internal militer sementara urusan mereka untuk bekerjasama membentuk kabinet saja gagal. Jenderal Ali Moertopo menilai golongan sipil masih belum bersih dari elemen subversif sehingga belum pantas diberi kepercayaan mengelola negara.
Sementara itu Jendral Mas Isman menyatakan bahwa kegagalan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin di tahun 1950-an dan awal 1960-an disebabkan oleh kegagalan mengintegrasikan kekuatan politik dan militer. Dan hal ini disebabkan oleh partai-partai politik yang memisah-misahkan pemimpin politik dan pemimpin tentara.[23] Hidajat Moekmin, mantan Sekretaris Panglima TNI (1966-1969) menyatakan bahwa upaya sekelompok sipil di era demokrasi liberal untuk mendegradasi tentara menjadi hanya sekedar alat negara merupakan suatu penghinaan bagi TNI.[24] Dokumen hakekat kekaryaan ABRI juga menyatakan bahwa politik yang telah membawa Indonesia kepada Perang Kemerdekaan I (21 Juli 1947), peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, dan Perang Kemerdekaan II (19 Desember 1948) adalah kegagalan total para politisi pada masa itu. ABRI lah yang kemudian harus menanggung akibat dari kegagalan para politisi itu.[25] Pewarisan nilai-nilai 45, menurut tentara adalah juga hanya bisa dilakukan dengan baik oleh mereka sedangkan masyarakat tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk itu.[26] Lebih jauh Salim Said menyatakan: “… ketika generasi muda tentara tampil, merekapun tiba pada kesimpulan yang sama dengan para senior mereka, melihat sipil sebagai ‘masih kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan’.”[27]
Sinyalemen dari Salim Said ini terlihat memperoleh pembenarannya manakala kita mencermati pandangan ABRI, ketika memandang abad ke-21 pun masih menampakkan kecemasan dan ketidakpercayaan kepada masyarakat sipil. Dalam dokumen penjelasan mengenai Empat Paradigma Baru ABRI menyatakan sebagai berikut:
Namun melihat kondisi faktual masyarakat kini yang memberi kesan dapat mengendurkan wawasan kebangsaan, kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, kiranya masih banyak memberi peluang bagi sumbangan peran ABRI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa agar transformasi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, dan masyarakat Indonesia diantar dengan selamat menuju terbentuknya masyarakat madani.[28]
Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman. Menurut tentara, ada tiga jenis ancaman yang bersumber dari dalam masyarakat.[29] Ketiga ancaman itu adalah: kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya; kelompok tertentu yang memiliki interpretasi yang salah mengenai Pancasila; dan pengaruh ideologi lainnya dalam masyarakat yang akan membahayakan Pancasila dan stabilitas nasional. Secara politik terdapat tiga sumber ancaman dalam masyarakat yakni: elemen masyarakat yang mencoba untuk mengganti konstitusi demi kepentingan kelompoknya; elemen masyarakat yang menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuannya yang membahayakan persatuan dan integrasi nasional; dan terdapatnya sejumlah masyarakat Indonesia yang belum memiliki pendidikan politik yang baik.
Dalam doktrin Wawasan Nusantara, tentara meletakkan kegiatan subversif sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional yang mungkin dapat meluas sebagai ancaman penetrasi ideologi asing.[30] Kegiatan subversif dapat berbentuk anti Pancasila dan anti UUD 1945. Sedangkan para pelaku kegiatan ini didefinisikan secara samar sehingga tentara dapat menginterpretasikannya sesuai dengan kebutuhan. Labelisasi berbagai kelompok masyarakat oleh tentara sebagai KGB (komunis gaya baru), OTB (organisasi tanpa bentuk), GPK (gerakan pengacau keamanan), ekstrim kanan, dan kelompok “liberal Barat” adalah contoh-contoh bagaimana tentara menghadapi masyarakat yang tidak bersesuaian dengan haluan militer. Dalam bentuk yang lebih kongkrit seperti ancaman separatis tentara melakukan kegiatan yang lebih kongkrit yakni penumpasan bersenjata.
Basis metodologi tentara menghadapi ancaman nasional adalah doktrin Hankamrata (pertahanan keamanan rakyat semesta). Doktrin ini memberi legitimasi kepada tentara untuk menggunakan masyarakat sipil sebagai komponen operasi militer. Dalam operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara pada tahun 1958 misalnya, tentara berkesimpulan bahwa operasi militer tidak akan sukses kalau tidak dengan dukungan masyarakat. Doktrin ini kemudian dirumuskan dalam Seminar Angkatan Darat tahun 1960 dan menjadi justifikasi keberadaan Komando Teritorial diseluruh wilayah Indonesia.
Dalam doktrin Kewaspadaan Nasional, mayarakat diwajibkan untuk selalu mewaspadai ancaman terhadap bangsa, utamanya yang berasal dari dalam negeri. Guna melaksanakan doktrin ini, sejak tahun 1978 tentara menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas), yakni suatu program indoktrinasi yang pada intinya berupaya untuk memelihara justifikasi intervensi militer dibidang politik.[31] Semenjak tahun 1988, kata kewaspadaan menjadi kata standar untuk membenarkan semua operasi militer sebagai respon terhadap tantangan dan ancaman terhadap negara. Semenjak era 1990-an, kewaspadaan diperluas dengan memasukkan pengawasan militer terhadap aktivitas berbagai kelompok berikut.[32] Pertama, organisasi yang ragu-ragu dalam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia. Kedua, generasi keempat dari komunis yang menggunakan gaya baru dalam taktik komunisnya melalui penggunaan metode-metode konstitusional dan jaringan intelektual dalam upayanya mendepolitisasi militer. Ketiga, kelompok ekstrimis yang menggunakan cara-cara ekstra konstitusional untuk mencapai tujuan politiknya melalui eksploitasi unsur-unsur kesukuan dan separatis. Keempat, kelompok yang menginginkan demokrasi liberal yang menyebarkan fahamnya melalui serangkaian forum dan diskusi akademik, seminar, dan media massa.
Citra Diri Militer dalam Praktek: Kekerasan Militer di Aceh
Dalam bahasannya mengenai kekerasan militer atas sipil selama hampir seratus tahun (1890-1988) di Kongo dan Zaire, Musambachime melakukan penelusurannya pada tiga hal.[33] Ketiganya adalah unsur citra diri tentara sebagai alat kekuasaan negara melalui instrument kekerasan, unsur impunity yang dimiliki tentara, dan kewenangan penuh (full authority) yang dimiliki tentara dalam melaksanakan tugas-tugas kekerasannya. Militer, dalam analisa Musambachime diletakkan dalam kerangka relasi sosial kekuasaan. Dengan mengutip Frantz Fanon ia menyatakan bahwa faktor penentu dalam relasi sosial kekuasaan adalah superioritas kekuatan fisik (physical force). Untuk memelihara tatanan sosial (sosial order) suatu actor atau organisasi politik membangung suatu kerangka territorial otoritas pemaksa atau kekerasan (coercive) melalui penggunaan kekuatan fisik.
Penggunaan kekerasan (violence) adalah instrument dari kekuasaan. Definisi kekuasaan oleh Max Weber bahwa “satu atau sejumlah aktor dalam suatu hubungan sosial akan selalu memaksakan keingingannya tanpa mempedulikan adanya resistensi” dapat membantu kita memahami proses represif dan manipulatif dari kekuasaan dan kondisi dimana kepatuhan diciptakan melalui serangkaian ancaman melalui penggunaan kekerasan.[34] Kekerasan sebagai instrumen dari kekuasaan dijalankan oleh militer—salah satu instrumen paling efisien dalam membangun pengaruh penguasa.
Militer di Kongo atau Zaire digelari sebagai “Bula Matare” (penghancur batu) oleh penduduk Afrika untuk menggambarkan betapa brutalnya administrasi dan perlakuannya terhadap penduduk di Kongo.[35] Pada mulanya militer ini adalah tentara penjajah Belgia, namun setelah kemerdekaan, perilaku brutal ini tetap dilanjutkan oleh tentara Kongo. Dalam menjaga tatanan sosial, memperkuat otoritas kekuasaan, dan melindungi kepentingan penguasa kolonial atau penguasa Kongo, militer melakukan intimidasi, pemaksaan terbuka, dan kekerasan.
Negara Kongo dibangun di atas fondasi kekerasan dengan hak untuk menggunakannya manakala penguasa memerlukannya. Hal ini memberikan basis bagi “impunity” militer yang menjalankan hak penggunaan kekerasan itu. Militer kemudian diindoktrinasi guna membangun citra diri mereka. Hasilnya seperti di sampaikan oleh Jenderal Molongya Mayikusa, Menteri Pertahanan Kongo pada tahun 1974 adalah; “the soldier considered himself an elite, while viewing civilians as nothing but ‘savages’ (tentara memandang dirinya sebagai kelompok elite dan pada saat yang sama memandang sipil hanyalah sebagai tidak beradab).[36] Impunity dan citra diri ini menjadi basis tentara untuk melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap sipil. Dan tentara tidak perlu takut dengan segala tindakannya itu karena ia mendapatkan pembenaran dan otoritas penuh dari penguasa. Seorang perwira tentara Kongo ini menyatakan bahwa tentara “must have carte blanche or the native would not respect the state” (tentara harus memiliki otoritas penuh, kalau tidak penduduk tidak akan menghormati negara).[37]
Citra diri, sikap dan perilaku tentara Kongo yang melakukan kebrutalan terhadap penduduk sipil ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh militer Indonesia. Kalau di Kongo penguasa yang menggunakan tentara itu adalah colonial atau dictator yang bukan dari kalangan militer, di Indonesia tentara itulah yang menjadi penguasa negara. Menurut Robert Cribb, disamping sikap tentara yang memandang rendah sipil sebagai sumber kekerasan, tentara Indonesia juga memiliki sumber impunity yakni legitimasi perilaku kekerasan tentara pada tahun 1965 yang kemudian menjadi basis berdirinya negara Orde Baru.[38] Sebagaimana diketahui bahwa hasil dari ketegangan politik pada tahun 1965 adalah kemenangan tentara, dan sejak 1966 tentara adalah kekuatan yang unggul dan agung. Tentara harus dihormati dimana-mana dan seakan bebas melakukan apa saja. Salah satu contoh kecil adalah anekdot ataupun joke terhadap apa itu Orba yang di plesetkan menjadi “Ora Bayar” untuk menunjuk kepada perilaku tentara yang lebih sering tidak membayar bila, misalnya naik bus, ataupun sering mengambil apapun yang mereka inginkan dari pasar.[39]
Selain basis citra diri dan impunity, tentara Indonesia memiliki juga basis carte blanche yakni kewenangan penuh dan pembenaran penuh atas segala kebijakannya. Suharto, penguasa Orde Baru dengan jelas mengisyaratkan hal ini:
Apapun yang dilakukan oleh ABRI telah sesuai dengan aturan prosedur dan aturan main yang kita telah putuskan bersama. ABRI diwakili di MPR dan DPR, baik di pusat maupun di daerah berdasarkan aturan yang ada. ABRI menjadi pegawai negeri adalah berdasarkan kepatuhan dan kebutuhan. Anggota-anggota ABRI menjadi gubernur hingga kepala desa adalah juga berdasarkan kehendak rakyat. Apalagi, mereka itu menerima tugasnya atas dasar idealisme perjuangan, bukan karena keinginan memperoleh jabatan, bukan pula karena keinginan untuk menumpuk kekuasaan demi kepentingan ABRI.[40]
Posisi tentara Indonesia dengan citra diri, impunity, dan carte blanche nya itu ditingkatan praktek menuntut kepatuhan seluruh elemen sipil. Deference (perasaan hormat dan tunduk) dan timidity (rasa takut) adalah kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan oleh sipil ketika berhadapan dengan kekuasaan militer.[41] Sementara tentara akan terus menerus menjaga dan membina rakyat, bangsa serta kesatuan bangsa melalui berbagai programnya, termasuk melalui jaringan komando territorial diseluruh Indonesia, maka ketidakpatuhan tertentu akan mendapatkan perlakuan khusus dari tentara. Perlakuan khusus itu, berdasarkan analisa tentara dapat bervariasi mulai dari pembinaan persuasif sampai dengan penumpasan lewat operasi militer. Dan hal ini didukung oleh training dan peralatan yang makin canggih yang dimiliki tentara dimana mereka memiliki kapasitas yang makin canggih pula untuk mendatangkan kerusakan yang lebih cepat dan lebih besar didalam masyarakat. Apa yang terjadi di Aceh dimata tentara adalah perilaku sipil dan elemen masyarakat lainnya yang telah menghina citra diri tentara dan dari segi tugas dan kewenangan tentara telah mendatangkan ancaman atas persatuan dan kesatuan bangsa—suatu hal yang sudah menjadi harga mati bagi tentara. Sebagai junior partner, seharusnya rakyat Aceh, dimata tentara harus mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan—dengan jalan mengisi dan melaksanakan pembangunan dibawah bimbingan tentara. Yang terjadi adalah sebaliknya, alih-alih mengisi pembangunan negara, elemen-elemen rakyat Aceh malah mengancam posisi tentara dan persatuan serta kesatuan bangsa. Tentara datang ke Aceh dengan misi suci untuk mendidik masyarakat Aceh, tentu saja dengan cara tentara.
Secara lebih analitik, ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan kuat tentara untuk melakukan perlakuan maksimal atas Aceh. Pertama adalah gerakan separatis, dalam hal ini GAM, adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir sedikitpun karena itu terkait langsung dengan ideologi tentara untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa disamping ia memberikan ancaman langsung atas keamanan dan stabilitas nasional. Kedua, Aceh adalah daerah yang dikenal kuat dengan ke-Islamannya. Islam dijaman Orde Baru, terutama apa yang dikenal sebagai Islam politik, dari segi doktrin TNI mengenai ancaman termasuk dalam kategori ektrim kanan sebagai pasangan dari ekstrim kiri. Kesadaran akan ancaman ini ditanamkan secara terus menerus dan baik oleh tentara melalui berbagai instrument pendidikan dan operasinya. Salah satu materi dalam kursus Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)—salah satu lembaga elite tentara—adalah materi mengenai EKI (ekstrim kiri) dan EKA (ekstrim kanan).[42] Dari segi ini, potensi ekstrim kanan dalam gerakan masyarakat Aceh adalah besar. EKI dan EKA termasuk dua hal yang tidak ada toleransinya dalam kamus tentara. Ketiga, sejarah Aceh yang penuh dengan perlawanan termasuk pemberontakan dapat dipandang sebagai potensi untuk tidak mematuhi tentara. Dalam kerangka ini, masyarakat Aceh perlu mendapatkan pendidikan politik yang lebih intensif dimata tentara. Kalau mereka tidak mau dan tidak mampu menjadi junior partner yang baik maka tidak ada jalan lain kecuali ditumpas.
Konsekuensi dari kebijakan dan atau tindakan yang memperoleh pembenaran secara histories dan doctrinal-ideologis ini adalah tentara seakan-akan buta atau membutakan diri terhadap efek yang tidak produktif dari kekerasan yang mereka lakukan. Efek yang tidak produktif itu adalah berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia atas masyarakat Aceh. Dan harga dari pelanggaran itu demikian mahal, baik dari segi tentara maupun dari segi masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kesimpulan
Tulisan ini, tanpa menafikkan kemungkinan adanya factor individualitas baik dalam kepemimpinan maupun dalam penugasan dilapangan, telah berusaha menelusuri dan menjelaskan kekerasan atau kebrutalan yang dilakukan tentara atas masyarakat sipil di Aceh dari segi perspektif tentara mengenai dirinya, mengenai masyarakat, dan mengenai ancaman (threats). Mengikuti penjelasan dari Robert Cribb, tulisan ini menghubungkan perilaku tentara dengan doktrin dan persepsi mereka. Problem yang muncul di Aceh dimata tentara menunjukkan dua hal. Pertama, sebagai masyarakat mereka seharusnya mendudukkan tentara pada posisi yang dihormati dan dipatuhi. Mereka seharusnya menjadi junior partner yang baik yang akan dibimbing oleh tentara menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Rakyat Aceh menunjukkan hal yang sebaliknya. Kedua, ancaman pemberontakan dan separatisme adalah harga mati bagi tentara. Tidak ada kata kompromi disini, karena ia menyangkut salah satu elemen dalam doktrin dan ideologi tentara. Disamping itu potensi ancaman terlihat lebih besar manakala tentara melihat bahwa Aceh adalah daerah yang bisa menjadi tempat subur bagi gerakan ekstrim kanan. Faktor sejarah perlawanan Aceh kemudian menjadi penguat bagi sinyalemen tentara tersebut. Oleh karena itulah tentara melakukan perlakuan maksimal terhadap rakyat Aceh, yang berdasarkan doktrin dan persepsi tentara, masih merupakan bagian dari tugas mereka untuk mendidik masyarakat Indonesia di Aceh. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah tindakan-tindakan yang brutal yang telah terkategori sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity).
Penulis, adalah Mantan Ketum PB PII, Mahasiswa di Ohio University dengan program Doktor Sosial dan Politik Otonomi Daerah
Catatan * Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Salim Said yang telah membolehkan manuskripnya yang berjudul “Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000,” untuk dipergunakan sebagai salah satu sumber utama tulisan ini.
[1] Lihat Denys Lombart, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
[2] Michael Malley, “Region: Centralization and Resistance,” dalam Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Suharto, Polity, Economy, Society, Transition, (New York: M.E. Sharpe, 1999), hlm. 94.
[3] Gambaran mengenai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh militer di Aceh selama DOM dapat ditemukan pada berbagai tulisan mengenai Aceh. Lihat misalnya Geoffrrey Robinson, “Rawan is as Rawan Does: The Origin of Disorder inNew Order Aceh”, in Ben Anderson, ed., Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Itacha, NY: Southeast Asia Publications, 2001) hlm. 214;
Al Chaidar (et.al.), Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998 (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) hlm. 1-20; Otto Syamsuddin Ishak (et.al), Suara Dari Aceh (Jakarta: YAPPIKA, 2001) hlm. 26-35; Geoff Simon, Indonesia, The Long Oppression (London: Macmillan Press Ltd., 2000); Human Right Watch Report (htto://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh0801-02.htm); Bambang Widjajanto dan Douglas Kammen, The Structure of Military Abuse (http://www.insideindonesia.org/edit62/dom2.htm); Tapol Indonesia, Crisis in Aceh Threaten Indonesian Unity (http://tapol.gn.apc.org/r991128aceh.htm).
[4] Tentang kontrol Suharto atas militer ini antara lain dinyatakan oleh Salim Said dan Ulf Sundhaussen. Lihat Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001); Salim Said, “Suharto’s Armed Forces, Building a Power Base in New Order Indonesia, 1966-1998,” Asian Survey Vol. XXXVIII, No. 6, June 1998; Ulf Sundhaussen, “Indonesia’s New Order: A Model for Myanmar?” Asian Survey Vol. 35 No. 8 (August 1995).
[5] Michael Malley, loc.cit.; Syarifudin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Cidesindo, 2000), hlm. 34.
[6] Sri Mastuti, et.al., Menggeliat dan Bangkit (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan, 2000), hlm. 67.
[7] Geoffrey Robinson, Rawan is Rawan…, op.cit. Juga dapat dilihat di Laporan Amnesty International, 2 Agustus 1993, “’Shock Theraphy’ Restroing Order in Aceh, 1989-1993, http://acehnet.tripod.com/shock.htm
[8] Al Chaidar, Op.cit., hlm. 112-150.
[9] Ibid., hlm. 112.
[10] Ibid., hlm. 112-150.
[11] Darryl Robinson, “Defining Crimes against Humanity at the Rome Conference,” American Journal of International Law, Vol. 93, Issue 1 (Jan, 999).
[12] Ibid.
[13] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000, akan terbit, hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ahmad Yani, dalam Ibid., hlm. 42.
[16] Ibid., hlm. 49.
[17] Seskoad, Doktrin Perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti”, (Djakarta: Angkatan Darat, 1966), hlm. 18.
[18] Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Cadek 1988 (Jakarta: Markas Besar ABRI, 1988), hlm. 43.
[19] Ibid.
[20] Departemen Angkatan Darat, Hakekat Kekaryaan ABRI/TNI-AD Bukan Militerisme (Jakarta, 1967), hlm. 28.
[21] Departemen Pertahanan Keamanan, “Darma Pusaka 45, Hasil Seminar TNI AD Ke III”, Disahkan dengan Keputusan Men Hankam/Pangab Nomor: Skep/B/911/XI/1972, 10 Nopember 1972.
[22] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., 149-151.
[23] Mas Isman, Peranan ABRI dalam Pembinaan Kehidupan Demokrasi dan Hubungannya dengan Kehidupan Kepartaian di Indonesia (Jakarta: Yayasan Mas Isman, 1992), hlm. 28-29.
[24] Hidajat Mukmin, PKI Versus Perang Wilayah, Penilaian Kembali Suatu Doktrin, hlm. 8-9.
[25] Departemen Angkatan Darat, Hakekat…op.cit., hlm. 10.
[26] Darma Pusaka 45, op.cit., hlm. 7.
[27] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., p. 150.
[28] Ibid., hlm. 149.
[29] Naskah Sementara Buku Petunjuk ABRI Tentang Operasi Sosial Politik, Surat Keputusan Panglima ABRI No. Skep/759/VIII/1990, 15 Agustus 1990.
[30] Lihat Jun Honna, “Military Doctrine and Democratic Transition: A Comparative Perspective on Indonesia’s Dual Function and Latin American National Security Doctrines,” makalah yang diterbitkan oleh The Department of Political and Sosial Change, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University, 1999, hlm. 11-12.
[31] Jun Honna, “Military Ideologi in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts,” dalam Benedict Anderson (Ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Itacha, New York: Southeast Asia Program Publication, 2001), hlm. 56.
[32] Ibid., hlm. 63.
[33] Mwelwa C. Musambachime, “Military Violence Against Civilians: The Case of Congolese and Zairean Military in the Pedicle 1890-1988,” The International Journal of African Historical Studies, Vol. 23, Issue 4 (1990), hlm. 643-664.
[34] Ibid., hlm. 643.
[35] Ibid., hlm. 645.
[36] Ibid., hlm. 648.
[37] Ibid., hlm. 650.
[38] Robert Cribb, “From Total People’s Defence to Massacre: Explaining Indonesian Military Violence in East Timor”, paper tanpa tahun.
[39] Ibid., hlm. 11.
[40] Dikutip dari Harold Maynard, “Indonesian Military Elite Role Perception”, dalam Amos Perlmutter and Valerie Plave Bennet (Eds.), The Political Influence of the Military. A Comparative Reader (New Haven and London: Yale University Press, 1980), hlm. 430.
[41] Robert Cribb, loc.cit.
[42] Wawancara dengan Salim Said, di Athens Ohio, 24 Mei 2002
Sumber Hidayatullah
Aceh, daerah yang memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari ini masih terus menerus di rundung berbagai bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan berbagai gerakan perlawanan baik sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan daerah ini sebagai daerah operasi militer terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan 1998 dengan sandi operasi militernya yang terkenal: Operasi Jaring Merah.
Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini. Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan Melayu-Muslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.[1] Ketika Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial, daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga 1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (1945-1949). Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas sebagai sebuah provinsi. Karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI) dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah ditepati.
Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi, sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih. Secara legal formal Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak istimewa”. Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi, sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local. Lebih jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang memadai bagi masyarakat Aceh.[2] Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin. Situasi ini antara lain yang membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.
Kedua pendekatan ini mampu menjelaskan mengapa rakyat Aceh memberontak atau terus menerus melakukan perlawanan. Akan tetapi keduanya tidak cukup mampu menjelaskan mengapa kekerasan militer dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi secara massif di Aceh.
Keberadaan GAM dengan tuntutannya untuk memerdekakan Aceh, menjadi alasan utama pemerintah Orde Baru untuk menjadikan daerah ini tempat operasi militer. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya GAM dan anggota GAM yang menjadi target operasi militer. Militer Indonesia melakukan indiscriminate violence, menjadikan semua penduduk sebagai target, sehingga masyarakat Aceh terteror dan terus menerus berada dalam tekanan. Pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang terdengar hampir setiap hari.[3] Menurut Robinson, selama sepuluh tahun masa DOM sekitar 2000 orang telah tewas dan lebih banyak lagi yang tidak sempat terhitung, termasuk yang ditahan, dianiaya, dan wanita-wanita yang diperkosa. Al Chaidar mencatat ada sekitar 3800 hingga 5000 orang yang terbunuh dan yang tidak terhitung jauh lebih banyak lagi. Sementara Ishak menyatakan bahwa sekitar tujuh ribu orang telah tewas selama masa 1989 hingga 1998. Sedangkan data dari Tapol, sebuah NGO internasional berbasis di London, dengan mengutip berbagai laporan dari human rights groups, adalah sebagai berikut: 3000 warga sipil terbunuh; 3862 hilang; 4663 mengalami penganiayaan; 186 diperkosa; 16 ribu anak kehilangan orang tua; dan 90 ribu lainnya menjadi pengungsi dan tidak lagi memiliki tempat tinggal. Sedikitnya 100 kuburan massal ditemukan, satu diantaranya menampung 200 mayat yang mengalami penganiayaan berat. Diantara penduduk yang masih bertahan di Aceh, ada sekitar 170 ribu orang yang mengalami trauma berat dan sekitar 6800 orang mengalami sakit mental atau jiwa.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan betapa brutalnya militer Indonesia terhadap rakyatnya sendiri. Mengapa harus melakukan indiscriminate violence kalau hanya untuk menumpas pemberontak? Faktor apakah yang bisa menjelaskan perilaku kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dikalangan militer Indonesia ini? Pertanyaan penting tersebut akan coba ditelusuri lewat tulisan ringkas ini. Pada dasarnya tulisan ini berpendapat bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil dalam skala yang luas di Aceh di masa DOM terutama disebabkan oleh kebijakan dan praktek militer Indonesia. Perilaku kekerasan militer ini ada kaitannya dengan citra diri (self perception) militer. Sebagai pencerminan lebih jauh dari citra diri ini adalah persepsi militer terhadap sipil di Indonesia dan persepsi militer terhadap ancaman (threats). Persepsi ini akan ditelusuri dengan menganalisa secara ringkas doktrin dan sejarah tentara di Indonesia. Kebijakan-kebijakan militer yang antara lain mencerminkan citra dirinya di implementasikan oleh rejim yang sangat represif dimana militer berada dalam kontrol penguasa tunggal Orde Baru yakni Suharto.[4]
Militer di Aceh di Masa DOM
Operasi Jaring Merah adalah nama sandi resmi dari operasi militer tentara Indonesia di Aceh dari tahun 1989 sampai dengan 1998. Keberadaan operasi ini menjadikan Aceh kemudian dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), sebuah nama yang tidak resmi dan bukan berasal dari pemerintah Indonesia namun menjadi sangat popular di kalangan masyarakat dan dunia internasional.
Gerakan separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diakhir era 1980-an makin hari makin mendapatkan dukungan yang meluas. Dukungan itu tampak sangat jelas didaerah-daerah yang menjadi kantong-kantong GAM seperti Pidie di Aceh Utara dan Aceh Timur di masa pertengahan tahun 1990. Sejak diproklamasikannya GAM pada tahun 1976, sebetulnya pemerintah telah memberlakukan operasi territorial didaerah ini. Melalui serangkaian serangan militer oleh ABRI, GAM berhasil di tumpas diakhir 1970-an atau awal 1980-an.[5] Namun melalui serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi dan tentara, gerakan ini tampak menguat kembali di tahun 1989. Peningkatan serangkaian serangan ini tampaknya terkait dengan strategi GAM yang menjadikan fase mulai tahun 1989 sebagai fase perlawanan bersenjata secara penuh setelah sebelumnya melalui fase penanaman kesadaran politik dan publikasi pers.[6] Setelah sejumlah kegagalan dalam serangan operasi teritoral di akhir 1980-an itu, ABRI melalui Komandan Komando Resort Militer (Korem) di Banda Aceh menurunkan lagi sejumlah enam ribu anggota pasukan sehingga jumlah keseluruhan tentara di lapangan saat itu menjadi duabelas ribu personil. Mulai saat itulah operasi militer dibawah DOM menjadi makin intensif diseluruh wilayah Aceh, terutama yang menjadi kantong-kantong GAM.
Bagaimanakah strategi militer dalam melancarkan operasi kekerasan agar benar-benar efektif mencapai sasaran guna penumpasan GAM? Menurut Geoffrey Robinson, strategi kekerasan militer ini dapat dibagi menjadi dua.[7] Pertama adalah institusionalisasi teror sebagai suatu upaya untuk menghadapi apa yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security). Cara ini meliputi berbagai metode seperti pemberlakuan jam malam, pencarian dari rumah ke rumah, penangkapan secara sembarangan, penganiayaan terus-menerus terhadap para tertuduh yang ditahan, pemerkosaan terhadap para perempuan yang dianggap memiliki kaitan dengan GAM, dan penembakan atau eksekusi di depan publik. Kedua, mobilisasi secara paksa dan sistematis para rakyat sipil. Tujuan dari hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga asisten lapangan dan mata-mata dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan (counter insurgency operations). Strategi mobilisasi rakyat sipil ini dilunakkan istilahnya menjadi menjadi “kerjasama sipil-militer”.
Salah satu bentuk strategi kedua ini yang sangat terkenal adalah operasi pagar betis. Dalam hal ini penduduk sipil dipaksa untuk menyapu daerah didepan pasukan ABRI dan berhadapan dengan musuh (orang yang diduga GAM) di front line. Dengan cara ini ABRI dapat memaksa penduduk untuk tidak terpencar-pencar ataupun berbalik dari daerah pertempuran. Dan para penduduk sipil ini tidak punya pilihan kecuali dua: menembak pemberontak atau ditembak tentara. Militer juga mempekerjakan unit-unit keamanan/kewaspadaan lokal dan ronda-ronda malam yang seolah-olah dibentuk oleh penduduk namun berada dibawah perintah ataupun pengawasan militer. Beberapa yang terkenal dari kelompok-kelompok ini adalah Unit Kesatria Penegak Pancasila, Bela Negara, Pemuda Keamanan Desa, dan Lasykar Rakyat. Sebelum bergerak, mereka ini mendapatkan training militer, lalu dipersenjatai dengan pisau, lembing, dan parang, kemudian diperintahkan untuk memburu para pemberontak atau para pendukung GAM. Bila masyarakat menolak atau gagal menunjukkan komitmen dalam membasmi musuh dengan cara mengidentifikasi, menangkap ataupun membunuh, biasanya akan berakhir dengan hukuman oleh militer termasuk penganiayaan didepan publik, penangkapan, dan penembakan. Strategi lain yang juga dipergunakan militer adalah merekrut penduduk lokal untuk menjadi mata-mata dan informan bagi militer. Istilah resmi untuk mereka ini adalah Tenaga Pembantu Operasi (TPO). Masyarakat Aceh menyebut hal ini sebagai cu’ak. Maknanya kira-kira sama dengan pengkhianat. Salah satu akibat dari hal ini adalah tersebarnya atmosfir ketakutan dan saling curiga antar penduduk serta kecenderungan penduduk untuk diam dan berbicara yang baik-baik saja didepan orang lain.
Dalam hal melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil Al Chaidar mencatat berbagai kasus yang tergolong sebagai “supersadistis”.[8] Menurut Al Chaidar:
Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler dimanapun didunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—dimana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran diantara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penindasan dimana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematinannya.[9]
Beberapa contoh yang dimaksud Al Chaidar dengan kasus-kasus yang supersadistis itu adalah: korban digorok lalu rumahnya dibakar; korban diikat, ditarik ramai-ramai, lalu ditembak; korban diganduli batu, lalu dibenam ke sungai; korban yang sudah ditembak dan dimakamkan oleh masyarakat, namun tentara memerintahkan dibongkar kembali untuk diambil fotonya untuk dijadikan contoh bagi masyarakat yang berani melawan; penculikan, yang sampai dengan 13 Juli 1998 telah terjadi 137 kasus; penduduk dijadikan tameng saat tentara bertempur melawan GPK; tangan dibedah, lalu ditetesi air cuka; kepala korban dikuliti didepan anaknya; korban ditembak didalam sumur; seorang suami diusir dari rumahnya, lalu istrinya disetrum; korban dipaksa bersanggama dengan tahanan wanita; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.[10]
Seperti telah dikemukakan dalam bagian pengantar tulisan ini, penerapan DOM di Aceh selama lebih kurang sepuluh tahun telah menghasilkan statistik korban yang dapat menggambarkan betapa kekerasan yang terjadi begitu brutal. Belum lagi bila kita menghitung korban dalam pengertian non fisik dan non manusia seperti hancurnya sendi-sendi dan infrastruktur sosial dan budaya masyarakat Aceh. Dari perspektif hak-hak asasi manusia, apa yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Aceh telah memenuhi syarat-syarat untuk disebut sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam Nuremberg Charter of 1945, pada pasal 6(c), kejahatan atas kemanusiaan di definisikan sebagai:
… pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pengasingan, dan perilaku tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum ataupun selama perang berlangsung, atau penyiksaan atas dasar politik, ras,ataupun relijius dalam kaitannya dengan suatu bentuk kejahatan dalam yurisdiksi suatu pengadilan, tanpa memperhatikan apakah pelanggaran itu bertentangan dengan hukum negara pelaku atau tidak.[11]
Sedangkan dalam International Criminal Court (ICC) statute dinyatakan bahwa kejahatan atas kemanusiaan adalah satu atau lebih dari tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan dan ancaman secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil, dengan kesadaran pengetahuan yang memadai atas penyerangan itu.[12]
Sejarah, Doktrin, dan Citra Diri Militer Indonesia
Doktrin adalah sesuatu yang sangat esensial dalam dunia militer atau tentara, “karena dari doktrinlah mengalirnya pengaturan posisi, fungsi, dan peran suatu tentara.”[13] Doktrin TNI, Dwifungsi, menurut Salim Said, bukan hanya menjelaskan posisi, fungsi, dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi sekaligus juga menunjukkan citra diri TNI serta cara TNI melihat masyarakat sekelilingnya.[14] Namun doktrin bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan memiliki akar sejarah dan politik yang terkait dengan perjalanan suatu bangsa.
Doktrin Dwifungsi menyatakan bahwa ABRI atau TNI, sejak perang kemerdekaan di tahun 1940-an telah memainkan peranan yang sangat penting sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Tentara Indonesia memandang dirinya sebagai pengawal revolusi dan negara.[15] Dalam doktrin Tri Ubaya Cakti 1965, TNI digambarkan sebagai “anak revolusi”, tentara rakyat, tentara pejuang, dan kekuatan progresif revolusioner yang akan selalu membela dengan gigih hingga titik darah penghabisan: Sang Saka Merah Putih, bhineka tunggal ika, dan Pancasila, MANIPOL/USDEK, dan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dengan ajaran-ajarannya.[16] Doktrin ini, karena dibuat masih dalam masa Soekarno tampak juga mengadopsi sejumlah slogan kiri yang memang biasanya sering digunakan oleh sang presiden. Versi doktrin Tri Ubaya Cakti ini menekankan bahwa TNI adalah kekuatan sosial politik yang sekaligus juga kekuatan militer. Dan sebagai bagian dari kekuatan progresif revolusioner ia merupakan alat revolusi, demokrasi, dan aparatur negara.
Setelah jatuhnya rejim Soekarno, tentara mendirikan Orde Baru. Keputusan untuk mendirikan Orde Baru ini diawali di seminar Angkatan Darat kedua pada bulan Agustus 1966 di Bandung. Keputusan tentara untuk mendirikan dan mendukung rejim Orde Baru didasarkan pada asumsi bahwa tentara memiliki hak untuk mengatur persoalan-persoalan non militer, suatu pandangan yang sebelumnya telah diinstitusionalisasi sebagai doktrin dwifungsi. Doktrin Tri Ubaya Cakti kemudian di modifikasi, slogan-slogan kirinya dibersihkan, dan posisi tentara dibidang politik makin dipertegas dan diperkuat. Tentara menampilkan dirinya sebagai pelopor perjuangan kebangsaan dengan menyatakan bahwa segenap harapan rakyat Indonesia telah digantungkan di pundak mereka dan karena itu tentara tidak punya pilihan lain selain daripada melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan jalan membangun pemerintah yang kuat dan stabil.[17]
Doktrin Tri Ubaya Cakti ini terdiri atas empat doktrin operasional. Pertama, Doktrin Pertahanan Darat Nasional yang mengatur penggunaan tentara diberbagai operasi militer dan menyatakan bahwa tugasnya adalah untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan revolusi Indonesia. Kedua, Doktrin Kekaryaan yang menyatakan bahwa tentara adalah kelompok fungsional yang akan selalu mengambil peran aktif didalam pembangunan kehidupan nasional serta melindungi kepentingan nasional. Ketiga, Doktrin Pembinaan yang menganalisa perkembangan masyarakat melalui kesiapan, ketahanan ideologi, agama, persoalan sosial dan kultural serta persoalan sosial militer. Dan keempat, Doktrin Perang Rakyat Semesta yang mengimplementasikan ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti ini, pada bulan Nopember 1966 diubah menjadi Catur Darma Eka Karma (CADEK) dengan perubahan substansi yang tidak signifikan. CADEK inilah yang kemudian menjadi doktrin ABRI secara keseluruhan.
Pada tahun 1988 doktrin CADEK diperbaharui kembali. CADEK kembali menyatakan dwifungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Dinyatakan juga bahwa hal ini didasarkan pada tujuan utama ABRI yakni mendukung perjuangan mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[18] Sebagai kekuatan sosial politik ABRI memandang dirinya sebagai kekuatan yang keperansertaannya menentukan tujuan, haluan, dan politik negara dan sebagai pelopor, dinamisator, serta stabilisator didalam setiap upaya mengisi kemerdekaan bangsa.[19]
Sementara itu, didalam dokumen Hakekat Kekaryaan ABRI dinyatakan bahwa ABRI adalah kelompok fungsional karena kontribusinya yang demikian besar dalam perjuangan kemerdekaan dan partisipasinya dalam membangun masa depan.[20] Sedangkan dalam dokumen Darma Pusaka 45 dinyatakan bahwa identitas TNI adalah memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal ini berbeda dengan kepentingan dan cara kerja kelompok lainnya (baca: sipil) yang tidak mendukung kepentingan nasional secara keseluruhan.[21] Menurut ABRI, peran-perannya didalam menyelesaikan masa-masa kritis telah diakui oleh masyarakat. Segala konsep dan kebijakan ABRI selalu menguntungkan rakyat karena didesain bukan hanya untuk ABRI tapi untuk seluruh masyarakat.
Penampilan citra diri tentara seperti telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa tentara meyakini dan menampilkan dirinya -karena sejarah, kemampuan dan komitmennya-sebagai elemen yang paling terpercaya dan selalu siap untuk menjaga dan membangun bangsa ini. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana tentara memandang lingkungannya baik itu menyangkut masyarakat lainnya yakni sipil maupun dalam hal merumuskan dan memandang apa yang dimaksud dengan ancaman (threats).
Salim Said menyatakan bahwa salah satu hal yang paling konsisten dalam pemikiran TNI, selain kebencian kepada liberalisme, adalah sikap tidak percaya kepada sipil.[22] Menurut Salim, Panglima Besar Soedirman kurang percaya kepada politisi sipil baik yang di pemerintahan maupun yang di oposisi. Untuk itu beliau melibatkan diri dalam politik dengan tujuan menjaga otonomi tentara terhadap usaha “rebutan tentara” oleh para politisi. Nasution kecewa kepada kekuatan politik yang dianggapnya mencampuri urusan internal militer sementara urusan mereka untuk bekerjasama membentuk kabinet saja gagal. Jenderal Ali Moertopo menilai golongan sipil masih belum bersih dari elemen subversif sehingga belum pantas diberi kepercayaan mengelola negara.
Sementara itu Jendral Mas Isman menyatakan bahwa kegagalan demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin di tahun 1950-an dan awal 1960-an disebabkan oleh kegagalan mengintegrasikan kekuatan politik dan militer. Dan hal ini disebabkan oleh partai-partai politik yang memisah-misahkan pemimpin politik dan pemimpin tentara.[23] Hidajat Moekmin, mantan Sekretaris Panglima TNI (1966-1969) menyatakan bahwa upaya sekelompok sipil di era demokrasi liberal untuk mendegradasi tentara menjadi hanya sekedar alat negara merupakan suatu penghinaan bagi TNI.[24] Dokumen hakekat kekaryaan ABRI juga menyatakan bahwa politik yang telah membawa Indonesia kepada Perang Kemerdekaan I (21 Juli 1947), peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948, dan Perang Kemerdekaan II (19 Desember 1948) adalah kegagalan total para politisi pada masa itu. ABRI lah yang kemudian harus menanggung akibat dari kegagalan para politisi itu.[25] Pewarisan nilai-nilai 45, menurut tentara adalah juga hanya bisa dilakukan dengan baik oleh mereka sedangkan masyarakat tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk itu.[26] Lebih jauh Salim Said menyatakan: “… ketika generasi muda tentara tampil, merekapun tiba pada kesimpulan yang sama dengan para senior mereka, melihat sipil sebagai ‘masih kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan’.”[27]
Sinyalemen dari Salim Said ini terlihat memperoleh pembenarannya manakala kita mencermati pandangan ABRI, ketika memandang abad ke-21 pun masih menampakkan kecemasan dan ketidakpercayaan kepada masyarakat sipil. Dalam dokumen penjelasan mengenai Empat Paradigma Baru ABRI menyatakan sebagai berikut:
Namun melihat kondisi faktual masyarakat kini yang memberi kesan dapat mengendurkan wawasan kebangsaan, kurang memiliki disiplin serta mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, kiranya masih banyak memberi peluang bagi sumbangan peran ABRI dalam kehidupan bernegara dan berbangsa agar transformasi masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, dan masyarakat Indonesia diantar dengan selamat menuju terbentuknya masyarakat madani.[28]
Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman. Menurut tentara, ada tiga jenis ancaman yang bersumber dari dalam masyarakat.[29] Ketiga ancaman itu adalah: kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya; kelompok tertentu yang memiliki interpretasi yang salah mengenai Pancasila; dan pengaruh ideologi lainnya dalam masyarakat yang akan membahayakan Pancasila dan stabilitas nasional. Secara politik terdapat tiga sumber ancaman dalam masyarakat yakni: elemen masyarakat yang mencoba untuk mengganti konstitusi demi kepentingan kelompoknya; elemen masyarakat yang menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuannya yang membahayakan persatuan dan integrasi nasional; dan terdapatnya sejumlah masyarakat Indonesia yang belum memiliki pendidikan politik yang baik.
Dalam doktrin Wawasan Nusantara, tentara meletakkan kegiatan subversif sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional yang mungkin dapat meluas sebagai ancaman penetrasi ideologi asing.[30] Kegiatan subversif dapat berbentuk anti Pancasila dan anti UUD 1945. Sedangkan para pelaku kegiatan ini didefinisikan secara samar sehingga tentara dapat menginterpretasikannya sesuai dengan kebutuhan. Labelisasi berbagai kelompok masyarakat oleh tentara sebagai KGB (komunis gaya baru), OTB (organisasi tanpa bentuk), GPK (gerakan pengacau keamanan), ekstrim kanan, dan kelompok “liberal Barat” adalah contoh-contoh bagaimana tentara menghadapi masyarakat yang tidak bersesuaian dengan haluan militer. Dalam bentuk yang lebih kongkrit seperti ancaman separatis tentara melakukan kegiatan yang lebih kongkrit yakni penumpasan bersenjata.
Basis metodologi tentara menghadapi ancaman nasional adalah doktrin Hankamrata (pertahanan keamanan rakyat semesta). Doktrin ini memberi legitimasi kepada tentara untuk menggunakan masyarakat sipil sebagai komponen operasi militer. Dalam operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara pada tahun 1958 misalnya, tentara berkesimpulan bahwa operasi militer tidak akan sukses kalau tidak dengan dukungan masyarakat. Doktrin ini kemudian dirumuskan dalam Seminar Angkatan Darat tahun 1960 dan menjadi justifikasi keberadaan Komando Teritorial diseluruh wilayah Indonesia.
Dalam doktrin Kewaspadaan Nasional, mayarakat diwajibkan untuk selalu mewaspadai ancaman terhadap bangsa, utamanya yang berasal dari dalam negeri. Guna melaksanakan doktrin ini, sejak tahun 1978 tentara menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas), yakni suatu program indoktrinasi yang pada intinya berupaya untuk memelihara justifikasi intervensi militer dibidang politik.[31] Semenjak tahun 1988, kata kewaspadaan menjadi kata standar untuk membenarkan semua operasi militer sebagai respon terhadap tantangan dan ancaman terhadap negara. Semenjak era 1990-an, kewaspadaan diperluas dengan memasukkan pengawasan militer terhadap aktivitas berbagai kelompok berikut.[32] Pertama, organisasi yang ragu-ragu dalam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia. Kedua, generasi keempat dari komunis yang menggunakan gaya baru dalam taktik komunisnya melalui penggunaan metode-metode konstitusional dan jaringan intelektual dalam upayanya mendepolitisasi militer. Ketiga, kelompok ekstrimis yang menggunakan cara-cara ekstra konstitusional untuk mencapai tujuan politiknya melalui eksploitasi unsur-unsur kesukuan dan separatis. Keempat, kelompok yang menginginkan demokrasi liberal yang menyebarkan fahamnya melalui serangkaian forum dan diskusi akademik, seminar, dan media massa.
Citra Diri Militer dalam Praktek: Kekerasan Militer di Aceh
Dalam bahasannya mengenai kekerasan militer atas sipil selama hampir seratus tahun (1890-1988) di Kongo dan Zaire, Musambachime melakukan penelusurannya pada tiga hal.[33] Ketiganya adalah unsur citra diri tentara sebagai alat kekuasaan negara melalui instrument kekerasan, unsur impunity yang dimiliki tentara, dan kewenangan penuh (full authority) yang dimiliki tentara dalam melaksanakan tugas-tugas kekerasannya. Militer, dalam analisa Musambachime diletakkan dalam kerangka relasi sosial kekuasaan. Dengan mengutip Frantz Fanon ia menyatakan bahwa faktor penentu dalam relasi sosial kekuasaan adalah superioritas kekuatan fisik (physical force). Untuk memelihara tatanan sosial (sosial order) suatu actor atau organisasi politik membangung suatu kerangka territorial otoritas pemaksa atau kekerasan (coercive) melalui penggunaan kekuatan fisik.
Penggunaan kekerasan (violence) adalah instrument dari kekuasaan. Definisi kekuasaan oleh Max Weber bahwa “satu atau sejumlah aktor dalam suatu hubungan sosial akan selalu memaksakan keingingannya tanpa mempedulikan adanya resistensi” dapat membantu kita memahami proses represif dan manipulatif dari kekuasaan dan kondisi dimana kepatuhan diciptakan melalui serangkaian ancaman melalui penggunaan kekerasan.[34] Kekerasan sebagai instrumen dari kekuasaan dijalankan oleh militer—salah satu instrumen paling efisien dalam membangun pengaruh penguasa.
Militer di Kongo atau Zaire digelari sebagai “Bula Matare” (penghancur batu) oleh penduduk Afrika untuk menggambarkan betapa brutalnya administrasi dan perlakuannya terhadap penduduk di Kongo.[35] Pada mulanya militer ini adalah tentara penjajah Belgia, namun setelah kemerdekaan, perilaku brutal ini tetap dilanjutkan oleh tentara Kongo. Dalam menjaga tatanan sosial, memperkuat otoritas kekuasaan, dan melindungi kepentingan penguasa kolonial atau penguasa Kongo, militer melakukan intimidasi, pemaksaan terbuka, dan kekerasan.
Negara Kongo dibangun di atas fondasi kekerasan dengan hak untuk menggunakannya manakala penguasa memerlukannya. Hal ini memberikan basis bagi “impunity” militer yang menjalankan hak penggunaan kekerasan itu. Militer kemudian diindoktrinasi guna membangun citra diri mereka. Hasilnya seperti di sampaikan oleh Jenderal Molongya Mayikusa, Menteri Pertahanan Kongo pada tahun 1974 adalah; “the soldier considered himself an elite, while viewing civilians as nothing but ‘savages’ (tentara memandang dirinya sebagai kelompok elite dan pada saat yang sama memandang sipil hanyalah sebagai tidak beradab).[36] Impunity dan citra diri ini menjadi basis tentara untuk melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap sipil. Dan tentara tidak perlu takut dengan segala tindakannya itu karena ia mendapatkan pembenaran dan otoritas penuh dari penguasa. Seorang perwira tentara Kongo ini menyatakan bahwa tentara “must have carte blanche or the native would not respect the state” (tentara harus memiliki otoritas penuh, kalau tidak penduduk tidak akan menghormati negara).[37]
Citra diri, sikap dan perilaku tentara Kongo yang melakukan kebrutalan terhadap penduduk sipil ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh militer Indonesia. Kalau di Kongo penguasa yang menggunakan tentara itu adalah colonial atau dictator yang bukan dari kalangan militer, di Indonesia tentara itulah yang menjadi penguasa negara. Menurut Robert Cribb, disamping sikap tentara yang memandang rendah sipil sebagai sumber kekerasan, tentara Indonesia juga memiliki sumber impunity yakni legitimasi perilaku kekerasan tentara pada tahun 1965 yang kemudian menjadi basis berdirinya negara Orde Baru.[38] Sebagaimana diketahui bahwa hasil dari ketegangan politik pada tahun 1965 adalah kemenangan tentara, dan sejak 1966 tentara adalah kekuatan yang unggul dan agung. Tentara harus dihormati dimana-mana dan seakan bebas melakukan apa saja. Salah satu contoh kecil adalah anekdot ataupun joke terhadap apa itu Orba yang di plesetkan menjadi “Ora Bayar” untuk menunjuk kepada perilaku tentara yang lebih sering tidak membayar bila, misalnya naik bus, ataupun sering mengambil apapun yang mereka inginkan dari pasar.[39]
Selain basis citra diri dan impunity, tentara Indonesia memiliki juga basis carte blanche yakni kewenangan penuh dan pembenaran penuh atas segala kebijakannya. Suharto, penguasa Orde Baru dengan jelas mengisyaratkan hal ini:
Apapun yang dilakukan oleh ABRI telah sesuai dengan aturan prosedur dan aturan main yang kita telah putuskan bersama. ABRI diwakili di MPR dan DPR, baik di pusat maupun di daerah berdasarkan aturan yang ada. ABRI menjadi pegawai negeri adalah berdasarkan kepatuhan dan kebutuhan. Anggota-anggota ABRI menjadi gubernur hingga kepala desa adalah juga berdasarkan kehendak rakyat. Apalagi, mereka itu menerima tugasnya atas dasar idealisme perjuangan, bukan karena keinginan memperoleh jabatan, bukan pula karena keinginan untuk menumpuk kekuasaan demi kepentingan ABRI.[40]
Posisi tentara Indonesia dengan citra diri, impunity, dan carte blanche nya itu ditingkatan praktek menuntut kepatuhan seluruh elemen sipil. Deference (perasaan hormat dan tunduk) dan timidity (rasa takut) adalah kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan oleh sipil ketika berhadapan dengan kekuasaan militer.[41] Sementara tentara akan terus menerus menjaga dan membina rakyat, bangsa serta kesatuan bangsa melalui berbagai programnya, termasuk melalui jaringan komando territorial diseluruh Indonesia, maka ketidakpatuhan tertentu akan mendapatkan perlakuan khusus dari tentara. Perlakuan khusus itu, berdasarkan analisa tentara dapat bervariasi mulai dari pembinaan persuasif sampai dengan penumpasan lewat operasi militer. Dan hal ini didukung oleh training dan peralatan yang makin canggih yang dimiliki tentara dimana mereka memiliki kapasitas yang makin canggih pula untuk mendatangkan kerusakan yang lebih cepat dan lebih besar didalam masyarakat. Apa yang terjadi di Aceh dimata tentara adalah perilaku sipil dan elemen masyarakat lainnya yang telah menghina citra diri tentara dan dari segi tugas dan kewenangan tentara telah mendatangkan ancaman atas persatuan dan kesatuan bangsa—suatu hal yang sudah menjadi harga mati bagi tentara. Sebagai junior partner, seharusnya rakyat Aceh, dimata tentara harus mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan—dengan jalan mengisi dan melaksanakan pembangunan dibawah bimbingan tentara. Yang terjadi adalah sebaliknya, alih-alih mengisi pembangunan negara, elemen-elemen rakyat Aceh malah mengancam posisi tentara dan persatuan serta kesatuan bangsa. Tentara datang ke Aceh dengan misi suci untuk mendidik masyarakat Aceh, tentu saja dengan cara tentara.
Secara lebih analitik, ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan kuat tentara untuk melakukan perlakuan maksimal atas Aceh. Pertama adalah gerakan separatis, dalam hal ini GAM, adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir sedikitpun karena itu terkait langsung dengan ideologi tentara untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa disamping ia memberikan ancaman langsung atas keamanan dan stabilitas nasional. Kedua, Aceh adalah daerah yang dikenal kuat dengan ke-Islamannya. Islam dijaman Orde Baru, terutama apa yang dikenal sebagai Islam politik, dari segi doktrin TNI mengenai ancaman termasuk dalam kategori ektrim kanan sebagai pasangan dari ekstrim kiri. Kesadaran akan ancaman ini ditanamkan secara terus menerus dan baik oleh tentara melalui berbagai instrument pendidikan dan operasinya. Salah satu materi dalam kursus Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)—salah satu lembaga elite tentara—adalah materi mengenai EKI (ekstrim kiri) dan EKA (ekstrim kanan).[42] Dari segi ini, potensi ekstrim kanan dalam gerakan masyarakat Aceh adalah besar. EKI dan EKA termasuk dua hal yang tidak ada toleransinya dalam kamus tentara. Ketiga, sejarah Aceh yang penuh dengan perlawanan termasuk pemberontakan dapat dipandang sebagai potensi untuk tidak mematuhi tentara. Dalam kerangka ini, masyarakat Aceh perlu mendapatkan pendidikan politik yang lebih intensif dimata tentara. Kalau mereka tidak mau dan tidak mampu menjadi junior partner yang baik maka tidak ada jalan lain kecuali ditumpas.
Konsekuensi dari kebijakan dan atau tindakan yang memperoleh pembenaran secara histories dan doctrinal-ideologis ini adalah tentara seakan-akan buta atau membutakan diri terhadap efek yang tidak produktif dari kekerasan yang mereka lakukan. Efek yang tidak produktif itu adalah berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia atas masyarakat Aceh. Dan harga dari pelanggaran itu demikian mahal, baik dari segi tentara maupun dari segi masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kesimpulan
Tulisan ini, tanpa menafikkan kemungkinan adanya factor individualitas baik dalam kepemimpinan maupun dalam penugasan dilapangan, telah berusaha menelusuri dan menjelaskan kekerasan atau kebrutalan yang dilakukan tentara atas masyarakat sipil di Aceh dari segi perspektif tentara mengenai dirinya, mengenai masyarakat, dan mengenai ancaman (threats). Mengikuti penjelasan dari Robert Cribb, tulisan ini menghubungkan perilaku tentara dengan doktrin dan persepsi mereka. Problem yang muncul di Aceh dimata tentara menunjukkan dua hal. Pertama, sebagai masyarakat mereka seharusnya mendudukkan tentara pada posisi yang dihormati dan dipatuhi. Mereka seharusnya menjadi junior partner yang baik yang akan dibimbing oleh tentara menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik. Rakyat Aceh menunjukkan hal yang sebaliknya. Kedua, ancaman pemberontakan dan separatisme adalah harga mati bagi tentara. Tidak ada kata kompromi disini, karena ia menyangkut salah satu elemen dalam doktrin dan ideologi tentara. Disamping itu potensi ancaman terlihat lebih besar manakala tentara melihat bahwa Aceh adalah daerah yang bisa menjadi tempat subur bagi gerakan ekstrim kanan. Faktor sejarah perlawanan Aceh kemudian menjadi penguat bagi sinyalemen tentara tersebut. Oleh karena itulah tentara melakukan perlakuan maksimal terhadap rakyat Aceh, yang berdasarkan doktrin dan persepsi tentara, masih merupakan bagian dari tugas mereka untuk mendidik masyarakat Indonesia di Aceh. Konsekuensi dari hal tersebut kemudian adalah tindakan-tindakan yang brutal yang telah terkategori sebagai kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity).
Penulis, adalah Mantan Ketum PB PII, Mahasiswa di Ohio University dengan program Doktor Sosial dan Politik Otonomi Daerah
Catatan * Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Salim Said yang telah membolehkan manuskripnya yang berjudul “Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000,” untuk dipergunakan sebagai salah satu sumber utama tulisan ini.
[1] Lihat Denys Lombart, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), terj. Oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
[2] Michael Malley, “Region: Centralization and Resistance,” dalam Donald K. Emmerson, Indonesia Beyond Suharto, Polity, Economy, Society, Transition, (New York: M.E. Sharpe, 1999), hlm. 94.
[3] Gambaran mengenai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh militer di Aceh selama DOM dapat ditemukan pada berbagai tulisan mengenai Aceh. Lihat misalnya Geoffrrey Robinson, “Rawan is as Rawan Does: The Origin of Disorder inNew Order Aceh”, in Ben Anderson, ed., Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Itacha, NY: Southeast Asia Publications, 2001) hlm. 214;
Al Chaidar (et.al.), Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998 (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) hlm. 1-20; Otto Syamsuddin Ishak (et.al), Suara Dari Aceh (Jakarta: YAPPIKA, 2001) hlm. 26-35; Geoff Simon, Indonesia, The Long Oppression (London: Macmillan Press Ltd., 2000); Human Right Watch Report (htto://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh0801-02.htm); Bambang Widjajanto dan Douglas Kammen, The Structure of Military Abuse (http://www.insideindonesia.org/edit62/dom2.htm); Tapol Indonesia, Crisis in Aceh Threaten Indonesian Unity (http://tapol.gn.apc.org/r991128aceh.htm).
[4] Tentang kontrol Suharto atas militer ini antara lain dinyatakan oleh Salim Said dan Ulf Sundhaussen. Lihat Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001); Salim Said, “Suharto’s Armed Forces, Building a Power Base in New Order Indonesia, 1966-1998,” Asian Survey Vol. XXXVIII, No. 6, June 1998; Ulf Sundhaussen, “Indonesia’s New Order: A Model for Myanmar?” Asian Survey Vol. 35 No. 8 (August 1995).
[5] Michael Malley, loc.cit.; Syarifudin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Cidesindo, 2000), hlm. 34.
[6] Sri Mastuti, et.al., Menggeliat dan Bangkit (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan, 2000), hlm. 67.
[7] Geoffrey Robinson, Rawan is Rawan…, op.cit. Juga dapat dilihat di Laporan Amnesty International, 2 Agustus 1993, “’Shock Theraphy’ Restroing Order in Aceh, 1989-1993, http://acehnet.tripod.com/shock.htm
[8] Al Chaidar, Op.cit., hlm. 112-150.
[9] Ibid., hlm. 112.
[10] Ibid., hlm. 112-150.
[11] Darryl Robinson, “Defining Crimes against Humanity at the Rome Conference,” American Journal of International Law, Vol. 93, Issue 1 (Jan, 999).
[12] Ibid.
[13] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia: 1958-2000, akan terbit, hlm. 4.
[14] Ibid.
[15] Ahmad Yani, dalam Ibid., hlm. 42.
[16] Ibid., hlm. 49.
[17] Seskoad, Doktrin Perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti”, (Djakarta: Angkatan Darat, 1966), hlm. 18.
[18] Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Cadek 1988 (Jakarta: Markas Besar ABRI, 1988), hlm. 43.
[19] Ibid.
[20] Departemen Angkatan Darat, Hakekat Kekaryaan ABRI/TNI-AD Bukan Militerisme (Jakarta, 1967), hlm. 28.
[21] Departemen Pertahanan Keamanan, “Darma Pusaka 45, Hasil Seminar TNI AD Ke III”, Disahkan dengan Keputusan Men Hankam/Pangab Nomor: Skep/B/911/XI/1972, 10 Nopember 1972.
[22] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., 149-151.
[23] Mas Isman, Peranan ABRI dalam Pembinaan Kehidupan Demokrasi dan Hubungannya dengan Kehidupan Kepartaian di Indonesia (Jakarta: Yayasan Mas Isman, 1992), hlm. 28-29.
[24] Hidajat Mukmin, PKI Versus Perang Wilayah, Penilaian Kembali Suatu Doktrin, hlm. 8-9.
[25] Departemen Angkatan Darat, Hakekat…op.cit., hlm. 10.
[26] Darma Pusaka 45, op.cit., hlm. 7.
[27] Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya…op.cit., p. 150.
[28] Ibid., hlm. 149.
[29] Naskah Sementara Buku Petunjuk ABRI Tentang Operasi Sosial Politik, Surat Keputusan Panglima ABRI No. Skep/759/VIII/1990, 15 Agustus 1990.
[30] Lihat Jun Honna, “Military Doctrine and Democratic Transition: A Comparative Perspective on Indonesia’s Dual Function and Latin American National Security Doctrines,” makalah yang diterbitkan oleh The Department of Political and Sosial Change, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University, 1999, hlm. 11-12.
[31] Jun Honna, “Military Ideologi in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts,” dalam Benedict Anderson (Ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Itacha, New York: Southeast Asia Program Publication, 2001), hlm. 56.
[32] Ibid., hlm. 63.
[33] Mwelwa C. Musambachime, “Military Violence Against Civilians: The Case of Congolese and Zairean Military in the Pedicle 1890-1988,” The International Journal of African Historical Studies, Vol. 23, Issue 4 (1990), hlm. 643-664.
[34] Ibid., hlm. 643.
[35] Ibid., hlm. 645.
[36] Ibid., hlm. 648.
[37] Ibid., hlm. 650.
[38] Robert Cribb, “From Total People’s Defence to Massacre: Explaining Indonesian Military Violence in East Timor”, paper tanpa tahun.
[39] Ibid., hlm. 11.
[40] Dikutip dari Harold Maynard, “Indonesian Military Elite Role Perception”, dalam Amos Perlmutter and Valerie Plave Bennet (Eds.), The Political Influence of the Military. A Comparative Reader (New Haven and London: Yale University Press, 1980), hlm. 430.
[41] Robert Cribb, loc.cit.
[42] Wawancara dengan Salim Said, di Athens Ohio, 24 Mei 2002
Sumber Hidayatullah
Wednesday, November 18, 2009
Monday, November 16, 2009
struktur ketatanegaraan Jerman
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, saya ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah saya dengan judul ”Struktur Kelembagaan Negara Jerman” telah di selesaikan
Adapun tujuan makalah ini di buat untuk memudahkan mahasiswa didalam belajar dan agar dapat bertambah ilmu dengan apa yang belum di pelajari
Saya sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan yang saya harapkan, oleh sebab itu kritik dan saran anda yang sifatnya membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini, kami berharap mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat di mamfaatkan oleh semua mahasiswa fakultas hukum Usyiah dalam meningkatkan citra belajar, Amin
Darussalam 17 November 2009
penulis
BAB 1
STRUKTUR KELEMBAGAAN NEGARA JERMAN
1. PENDAHULUAN
Republik Federal Jerman (Bundesrepublik Deutschland) adalah sebuah negara di Eropa Tengah. Negara ini merupakan negara dengan posisi ekonomi dan politik yang penting di Eropa dan secara terbatas di tingkat dunia. Jerman dikenal dengan penguasaan teknologi maju, khususnya dalam bidang industri kendaraan bermotor dan alat-alat presisi.
Negara Jerman berbatasan langsung dengan sembilan negara. Di sebelah barat berbatasan dengan Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Perancis. Di sebelah selatan berbatasan dengan Swiss dan Austria. Di sebelah timur berbatasan dengan Ceko dan Polandia. Di sebelah utara berbatasan dengan Denmark. Apabila tetangga di seberang laut (Laut Baltik) juga dihitung, maka Jerman juga bertetangga dengan Swedia.
Negara ini pernah memiliki wilayah yang jauh lebih luas daripada yang sekarang ada dan pernah pula terpecah secara politik sejak berakhirnya Perang Dunia II tepatnya pada tanggal 7 Oktober 1949 hingga tanggal 3 Oktober 1990, di saat bagian timur negara ini dikuasai oleh rezim komunis dan bernama Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur, atau Deutsche Demokratische Republik disingkat DDR).
Secara administrasi, Jerman adalah negara federasi (Bund) dengan 13 negara bagian (Bundesland) dan tiga kota setingkat negara bagian (Bundesstadt). Negara-negara bagian modern yang ada sekarang dibentuk semenjak berakhirnya Perang Dunia II. Sebelumnya, pembagian sedikit banyak masih mengikuti garis kepemilikan feodalistik, sebagai peninggalan masa Kekaisaran Jerman.
Dengan terbentuknya Konfederasi Jerman tahun 1815–1866, Kekaisaran Jerman tahun 1871–1918, dan Republik Weimar tahun 1919–1933. Setelah pemerintahan Jerman Nazi Adolf Hitler tahun 1933–1945 yang membawa kehancuran bangsa ini dalam Perang Dunia II, muncullah Republik Federal Jerman (Jerman Barat) dan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) sebagai simbol Perang Dingin, hingga Jerman bersatu kembali pada tahun 1990. Dengan Presidennya Horst Köhler dan Kanselirnya Angela Merkel.
1. STRUKTUR KELEMBAGAAN NEGARA
Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh negara terbagi dalam 3 lembaga pemerintahan yaitu :
1) LEMBAGA LEGISLATIF
1. Bundestag (DPR)
Bundestag Jerman adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Federal Jerman. Parlemen ini dipilih oleh rakyat setiap empat tahun. Pembubarannya (sebelum masa jabatan berakhir) hanya dapat dilakukan dalam situasi khusus dan menjadi kewenangan Presiden Federal. Tugas Bundestag yang utama adalah menetapakan undang-undang, memilih Kanselir dan mengawasi pemerintah.
b) Bundesrat (Dewan utusan negara bagian)
Lembaga legislatif yang terdiri dari perwakilan dari negara bagian yang jumlahnya didasarkan pada banyaknya penduduk negara bagian yang bersangkutan.
Bundesrat turut serta dalam pembuatan undang-undang dan administrasi negara federal. Anggota Bundesrat tidak terdiri dari wakil rakyat yang dipilih. Anggota Bundesrat adalah pejabat pemerintah negara bagian atau orang yang diberi kuasa oleh pemerintah tersebut. Sesuai dengan jumlah penduduknya, setiap negara bagian mempunyai tiga, empat, lima atau enam suara. Dalam pemungutan suara, setiap negara bagian hanya dapat memberikan suaranya sebagai kesatuan. Lebih dari setengah undang-undang yang dibuat memerlukan persetujuan Bundesrat. Artinya, undang-undang tersebut tak dapat diputuskan tanpa direstui oleh Bundesrat terutama adalah undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan negara bagian, misalnya dengan keuangan atau kewenangan administrasi mereka. Bagaimanapun juga, perubahan terhadap UUD memerlukan persetujuan Bundesrat dengan mayoritas dua pertiga dalam hal perundangan lain, Bundesrat mempunyai hak keberatan saja, yang dapat dibatalkan oleh keputusan Bundestag. Bila kedua dewan tersebut tidak dapat mencapai kesepakatan, maka Komisi Perantara, yang anggotanya berasal baik dari Bundestag maupun dari Bundesrat, akan bersidang.
c) Bundesversammlung (Badan Permusyawaratan).
Bundesversammlung yang dibentuk pada tahun 1951 berlokasi di kota Karlsruhe bertugas untuk mengawasi agar semua ketentuan peraturan di dalam UUD dipenuhi, Hanya Bundesversammlung yang dapat memutuskan apakah suatu partai yang berbahaya terhadap kebebasan demokrasi UUD dilarang atau tidak.
d) Presiden Federal (Bundespresident)
Kepala negara Republik Federal Jerman adalah Presiden Federal. Ia dipilih oleh Majelis Federal (Bundesversammlung), yang bersidang hanya untuk tujuan ini. Majelis Federal terdiri dari para anggota Bundestag dan jumlah yang sama utusan, yang dipilih oleh parlemen di setiap negara bagian. Kadang-kadang utusan yang terpilih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa yang tidak duduk dalam parlemen negara bagian. Presiden Federal dipilih oleh Majelis Federal dengan suara terbanyak untuk periode lima tahun. Setelah itu dapat dipilih satu kali lagi.
Presiden Federal mewakili negara Jerman secara hukum antar bangsa. Ia mengikat peranjian atas nama Jerman dengan negara lain serta mengakreditasi dan menerima para duta besar. Namun kewenangan politik luar negeri tetap pada Pemerintah Federal.
Presiden Federal mengangkat dan memberhentikan para hakim federal, pegawai negeri di tingkat federal, serta para perwira. Ia dapat memberi grasi kepada terpidana. Ia mengawasi kesesuaian proses penyusunan undang-undang dengan konstitusi, sebelum undang-undang itu diumumkan dalam Lembaran Undang-Undang Federal.
Kepada Bundestag, (dengan memperhatikan perbandingan suara di parlemen itu) Presiden mengusulkan calon untuk dipilih sebagai Kanselir Federal, kemudian atas usulan Kanselir ia melantik serta memberhentikan para menteri Pemerintah Federal. Kemudian atas usulan Kanselir ia melantik serta memberhentikan para menteri Pemerintah Federal. Bila Kanselir Federal gagal dalam usahanya memenangkan mosi kepercayaan di Bundestag, maka kepala negara, berdasarkan usul Kanselir, dapat membubarkan Bundestag. Presiden Federal mewujudkan kesatuan seluruh masyarakat politik dengan cara khusus. Ia memanifestasikan kebersamaan dalam negara dan tata konstitusional yang melampaui segala batas partai.
2) LEMBAGA EKSEKUTIF
a). Pemerintah Federal (Bundeskanzler)
Pemerintah Federal Jerman, disebut juga kabinet, terdiri atas Kanselir dan para menteri. Kanselir Federal mempunyai posisi istimewa dan mandiri dalam pemerintah dan dihadapan para menteri. Ia mengepalai kabinet federal, ia saja yang berhak membentuk kabinet; Kanselir memilih menteri dan mengajukan usulan mengikat kepada Presiden Federal untuk mengangkat maupun memberhentikan mereka. Selain itu, Kanselir juga menentukan jumlah menteri dan bidang tugas mereka. Beberapa kementrian disebutkdan dalam Grundgesetz; Kementerian Luar Negeri, Kementerian-kementerian Federal Dalam Negeri, Kehakiman, Keuangan dan Pertahanan. Pengadaan ketiga kementerian yang disebutkan terakhir merupakan persyaratan konstitusional. Posisi Kanselir yang kuat bertumpu pada kewenangannya : ia menentukan garis besar kebijakan pemerintah. Para menteri federal mengepalai bidang tugas masing-masing dengan menjalankan garis besar tersebut secara mandiri dan atas tanggung jawab sendiri. Dalam politik praktis, Kanselir harus juga mematuhi kesepakatan dengan partner koalisinya dan menghormati kepentingan mereka.
Tidaklah salah bila sistem pemerintahan Jerman juga dijuluki sebagai demokrasi Kanselir. Kanselir Federal adalah satu-satunya orang dalam kabinet yang dipilih oleh parlemen, hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Pertanggungjawaban ini dapat berwujud mosi tidak percaya konstruktif. Prosedur mosi ini sengaja dicantumkan dalam Grundgesetz sebagai perbaikan terhadap UUD Republik Weimar. Maksud mosi konstruktif ini untuk menghindari jatuhnya pemerintah atas ulah kelompok-kelompok oposisi yang hanya sepakat menolak pemerintah, tetapi tidak memiliki program alternatif bersama. Dalam sistem ini, Bundestag yang mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kanselir, sekaligus harus memilih Kanselir baru. Percobaan menjatuhkan Kanselir melalui mosi ini telah dua kali dilakukan, tetapi baru satu kali berhasil : Pada bulan Oktober 1982 melalui mosi tidak percaya terhadap Kanselir Helmut Schmidt dipilihlah Helmut Kohl sebagai Kanselir baru. Grundgesetz tidak mengenal mosi tidak percaya terhadap menteri.
3) LEMBAGA YUDIKATIF
1. Mahkamah Konstitusi Federal
Pengawal Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht) yang bersifat independen konstitusional organ dan pada saat yang sama bagian dari peradilan di bidang hukum konstitusional dan hukum internasional publik. Penilaiannya memiliki status hukum hukum biasa. Dapat menyatakan ketetapan sebagai batal dan tidak berlaku jika mereka melanggar Undang-Undang Dasar.
Pengadilan terkenal untuk meniadakan beberapa profil tinggi undang-undang, yang disahkan oleh mayoritas besar di parlemen. Contoh adalah Luftsicherheitsgesetz, yang akan memungkinkan Bundeswehr untuk menembak jatuh pesawat sipil dalam kasus serangan teroris. Itu diperintah untuk melanggar jaminan kehidupan dan martabat manusia dalam Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi Federal memutuskan pada konstitusionalitas undang-undang dan tindakan pemerintah di bawah situasi berikut:
• keluhan individu - jas dibawa oleh seseorang menyatakan bahwa hukum atau tindakan apapun dari pemerintah-nya melanggar hak konstitusional. Semua obat yang tersedia di pengadilan-pengadilan biasa pasti habis sebelumnya.
• arahan oleh pengadilan biasa - pengadilan dapat merujuk pertanyaan apakah undang-undang yang berlaku untuk kasus sebelum pengadilan adalah konstitusional.
• peraturan abstrak kontrol - pemerintah federal, pemerintah salah satu negara federal atau sepertiga dari Bundestag 's anggota yang dapat membawa gugatan terhadap hukum. Dalam kasus ini setelan tidak perlu mengacu pada kasus tertentu dari hukum aplikasi.
b. Lembaga penegakan keadilan
Ciri sistem peradilan Jerman adalah perlindungan hukum yang menyeluruh dan spesialisasi pengadilan yang luas. Terdapat lima jenis pengadilan:
1. Pengadilan umum menangani kasus-kasus pidana, kasus perdata. Terdapat empat tingkatan: Pengadilan Distrik (Amtsgericht); Pengadilan Negeri (Landgericht); Pengadilan Tinggi (Oberlandesgericht) dan Mahkamah Agung Federal (Bundesgerichtshof).
2. Pengadilan Tenaga Kerja menangani sengketa perdata yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta sengketa antara kedua mitra ketenagakerjaan yakni majikan dan syarikat pekerja. Memiliki tiga instansi pada tingkat wilayah, negara bagian dan federal.
3. Pengadilan Tata Usaha menangani semua perkara publik di bidang hukum administrasi negara. Dengan instansi di tingkat wilayah, bagian dan federal.
4. Pengadilan Sosial menangani semua persengketaan yang berkenaan dengan asuransi wajib jaminan sosial. Juga memiliki tiga Instansi seperti Pengadilan Tata Usaha.
5. Pengadilan Urusan Keuangan mengurusi perkara yang menyangkut pajak dan retribusi.
literatur :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman
2. http://www.anneahira.com/dunia/index.htm
3. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_German_institutions
4. http://en.wikipedia.org/wiki/Judiciary_of_Germany
Alhamdulillah, saya ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah saya dengan judul ”Struktur Kelembagaan Negara Jerman” telah di selesaikan
Adapun tujuan makalah ini di buat untuk memudahkan mahasiswa didalam belajar dan agar dapat bertambah ilmu dengan apa yang belum di pelajari
Saya sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan yang saya harapkan, oleh sebab itu kritik dan saran anda yang sifatnya membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini, kami berharap mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat di mamfaatkan oleh semua mahasiswa fakultas hukum Usyiah dalam meningkatkan citra belajar, Amin
Darussalam 17 November 2009
penulis
BAB 1
STRUKTUR KELEMBAGAAN NEGARA JERMAN
1. PENDAHULUAN
Republik Federal Jerman (Bundesrepublik Deutschland) adalah sebuah negara di Eropa Tengah. Negara ini merupakan negara dengan posisi ekonomi dan politik yang penting di Eropa dan secara terbatas di tingkat dunia. Jerman dikenal dengan penguasaan teknologi maju, khususnya dalam bidang industri kendaraan bermotor dan alat-alat presisi.
Negara Jerman berbatasan langsung dengan sembilan negara. Di sebelah barat berbatasan dengan Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Perancis. Di sebelah selatan berbatasan dengan Swiss dan Austria. Di sebelah timur berbatasan dengan Ceko dan Polandia. Di sebelah utara berbatasan dengan Denmark. Apabila tetangga di seberang laut (Laut Baltik) juga dihitung, maka Jerman juga bertetangga dengan Swedia.
Negara ini pernah memiliki wilayah yang jauh lebih luas daripada yang sekarang ada dan pernah pula terpecah secara politik sejak berakhirnya Perang Dunia II tepatnya pada tanggal 7 Oktober 1949 hingga tanggal 3 Oktober 1990, di saat bagian timur negara ini dikuasai oleh rezim komunis dan bernama Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur, atau Deutsche Demokratische Republik disingkat DDR).
Secara administrasi, Jerman adalah negara federasi (Bund) dengan 13 negara bagian (Bundesland) dan tiga kota setingkat negara bagian (Bundesstadt). Negara-negara bagian modern yang ada sekarang dibentuk semenjak berakhirnya Perang Dunia II. Sebelumnya, pembagian sedikit banyak masih mengikuti garis kepemilikan feodalistik, sebagai peninggalan masa Kekaisaran Jerman.
Dengan terbentuknya Konfederasi Jerman tahun 1815–1866, Kekaisaran Jerman tahun 1871–1918, dan Republik Weimar tahun 1919–1933. Setelah pemerintahan Jerman Nazi Adolf Hitler tahun 1933–1945 yang membawa kehancuran bangsa ini dalam Perang Dunia II, muncullah Republik Federal Jerman (Jerman Barat) dan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) sebagai simbol Perang Dingin, hingga Jerman bersatu kembali pada tahun 1990. Dengan Presidennya Horst Köhler dan Kanselirnya Angela Merkel.
1. STRUKTUR KELEMBAGAAN NEGARA
Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh negara terbagi dalam 3 lembaga pemerintahan yaitu :
1) LEMBAGA LEGISLATIF
1. Bundestag (DPR)
Bundestag Jerman adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Federal Jerman. Parlemen ini dipilih oleh rakyat setiap empat tahun. Pembubarannya (sebelum masa jabatan berakhir) hanya dapat dilakukan dalam situasi khusus dan menjadi kewenangan Presiden Federal. Tugas Bundestag yang utama adalah menetapakan undang-undang, memilih Kanselir dan mengawasi pemerintah.
b) Bundesrat (Dewan utusan negara bagian)
Lembaga legislatif yang terdiri dari perwakilan dari negara bagian yang jumlahnya didasarkan pada banyaknya penduduk negara bagian yang bersangkutan.
Bundesrat turut serta dalam pembuatan undang-undang dan administrasi negara federal. Anggota Bundesrat tidak terdiri dari wakil rakyat yang dipilih. Anggota Bundesrat adalah pejabat pemerintah negara bagian atau orang yang diberi kuasa oleh pemerintah tersebut. Sesuai dengan jumlah penduduknya, setiap negara bagian mempunyai tiga, empat, lima atau enam suara. Dalam pemungutan suara, setiap negara bagian hanya dapat memberikan suaranya sebagai kesatuan. Lebih dari setengah undang-undang yang dibuat memerlukan persetujuan Bundesrat. Artinya, undang-undang tersebut tak dapat diputuskan tanpa direstui oleh Bundesrat terutama adalah undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan negara bagian, misalnya dengan keuangan atau kewenangan administrasi mereka. Bagaimanapun juga, perubahan terhadap UUD memerlukan persetujuan Bundesrat dengan mayoritas dua pertiga dalam hal perundangan lain, Bundesrat mempunyai hak keberatan saja, yang dapat dibatalkan oleh keputusan Bundestag. Bila kedua dewan tersebut tidak dapat mencapai kesepakatan, maka Komisi Perantara, yang anggotanya berasal baik dari Bundestag maupun dari Bundesrat, akan bersidang.
c) Bundesversammlung (Badan Permusyawaratan).
Bundesversammlung yang dibentuk pada tahun 1951 berlokasi di kota Karlsruhe bertugas untuk mengawasi agar semua ketentuan peraturan di dalam UUD dipenuhi, Hanya Bundesversammlung yang dapat memutuskan apakah suatu partai yang berbahaya terhadap kebebasan demokrasi UUD dilarang atau tidak.
d) Presiden Federal (Bundespresident)
Kepala negara Republik Federal Jerman adalah Presiden Federal. Ia dipilih oleh Majelis Federal (Bundesversammlung), yang bersidang hanya untuk tujuan ini. Majelis Federal terdiri dari para anggota Bundestag dan jumlah yang sama utusan, yang dipilih oleh parlemen di setiap negara bagian. Kadang-kadang utusan yang terpilih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa yang tidak duduk dalam parlemen negara bagian. Presiden Federal dipilih oleh Majelis Federal dengan suara terbanyak untuk periode lima tahun. Setelah itu dapat dipilih satu kali lagi.
Presiden Federal mewakili negara Jerman secara hukum antar bangsa. Ia mengikat peranjian atas nama Jerman dengan negara lain serta mengakreditasi dan menerima para duta besar. Namun kewenangan politik luar negeri tetap pada Pemerintah Federal.
Presiden Federal mengangkat dan memberhentikan para hakim federal, pegawai negeri di tingkat federal, serta para perwira. Ia dapat memberi grasi kepada terpidana. Ia mengawasi kesesuaian proses penyusunan undang-undang dengan konstitusi, sebelum undang-undang itu diumumkan dalam Lembaran Undang-Undang Federal.
Kepada Bundestag, (dengan memperhatikan perbandingan suara di parlemen itu) Presiden mengusulkan calon untuk dipilih sebagai Kanselir Federal, kemudian atas usulan Kanselir ia melantik serta memberhentikan para menteri Pemerintah Federal. Kemudian atas usulan Kanselir ia melantik serta memberhentikan para menteri Pemerintah Federal. Bila Kanselir Federal gagal dalam usahanya memenangkan mosi kepercayaan di Bundestag, maka kepala negara, berdasarkan usul Kanselir, dapat membubarkan Bundestag. Presiden Federal mewujudkan kesatuan seluruh masyarakat politik dengan cara khusus. Ia memanifestasikan kebersamaan dalam negara dan tata konstitusional yang melampaui segala batas partai.
2) LEMBAGA EKSEKUTIF
a). Pemerintah Federal (Bundeskanzler)
Pemerintah Federal Jerman, disebut juga kabinet, terdiri atas Kanselir dan para menteri. Kanselir Federal mempunyai posisi istimewa dan mandiri dalam pemerintah dan dihadapan para menteri. Ia mengepalai kabinet federal, ia saja yang berhak membentuk kabinet; Kanselir memilih menteri dan mengajukan usulan mengikat kepada Presiden Federal untuk mengangkat maupun memberhentikan mereka. Selain itu, Kanselir juga menentukan jumlah menteri dan bidang tugas mereka. Beberapa kementrian disebutkdan dalam Grundgesetz; Kementerian Luar Negeri, Kementerian-kementerian Federal Dalam Negeri, Kehakiman, Keuangan dan Pertahanan. Pengadaan ketiga kementerian yang disebutkan terakhir merupakan persyaratan konstitusional. Posisi Kanselir yang kuat bertumpu pada kewenangannya : ia menentukan garis besar kebijakan pemerintah. Para menteri federal mengepalai bidang tugas masing-masing dengan menjalankan garis besar tersebut secara mandiri dan atas tanggung jawab sendiri. Dalam politik praktis, Kanselir harus juga mematuhi kesepakatan dengan partner koalisinya dan menghormati kepentingan mereka.
Tidaklah salah bila sistem pemerintahan Jerman juga dijuluki sebagai demokrasi Kanselir. Kanselir Federal adalah satu-satunya orang dalam kabinet yang dipilih oleh parlemen, hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Pertanggungjawaban ini dapat berwujud mosi tidak percaya konstruktif. Prosedur mosi ini sengaja dicantumkan dalam Grundgesetz sebagai perbaikan terhadap UUD Republik Weimar. Maksud mosi konstruktif ini untuk menghindari jatuhnya pemerintah atas ulah kelompok-kelompok oposisi yang hanya sepakat menolak pemerintah, tetapi tidak memiliki program alternatif bersama. Dalam sistem ini, Bundestag yang mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kanselir, sekaligus harus memilih Kanselir baru. Percobaan menjatuhkan Kanselir melalui mosi ini telah dua kali dilakukan, tetapi baru satu kali berhasil : Pada bulan Oktober 1982 melalui mosi tidak percaya terhadap Kanselir Helmut Schmidt dipilihlah Helmut Kohl sebagai Kanselir baru. Grundgesetz tidak mengenal mosi tidak percaya terhadap menteri.
3) LEMBAGA YUDIKATIF
1. Mahkamah Konstitusi Federal
Pengawal Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht) yang bersifat independen konstitusional organ dan pada saat yang sama bagian dari peradilan di bidang hukum konstitusional dan hukum internasional publik. Penilaiannya memiliki status hukum hukum biasa. Dapat menyatakan ketetapan sebagai batal dan tidak berlaku jika mereka melanggar Undang-Undang Dasar.
Pengadilan terkenal untuk meniadakan beberapa profil tinggi undang-undang, yang disahkan oleh mayoritas besar di parlemen. Contoh adalah Luftsicherheitsgesetz, yang akan memungkinkan Bundeswehr untuk menembak jatuh pesawat sipil dalam kasus serangan teroris. Itu diperintah untuk melanggar jaminan kehidupan dan martabat manusia dalam Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi Federal memutuskan pada konstitusionalitas undang-undang dan tindakan pemerintah di bawah situasi berikut:
• keluhan individu - jas dibawa oleh seseorang menyatakan bahwa hukum atau tindakan apapun dari pemerintah-nya melanggar hak konstitusional. Semua obat yang tersedia di pengadilan-pengadilan biasa pasti habis sebelumnya.
• arahan oleh pengadilan biasa - pengadilan dapat merujuk pertanyaan apakah undang-undang yang berlaku untuk kasus sebelum pengadilan adalah konstitusional.
• peraturan abstrak kontrol - pemerintah federal, pemerintah salah satu negara federal atau sepertiga dari Bundestag 's anggota yang dapat membawa gugatan terhadap hukum. Dalam kasus ini setelan tidak perlu mengacu pada kasus tertentu dari hukum aplikasi.
b. Lembaga penegakan keadilan
Ciri sistem peradilan Jerman adalah perlindungan hukum yang menyeluruh dan spesialisasi pengadilan yang luas. Terdapat lima jenis pengadilan:
1. Pengadilan umum menangani kasus-kasus pidana, kasus perdata. Terdapat empat tingkatan: Pengadilan Distrik (Amtsgericht); Pengadilan Negeri (Landgericht); Pengadilan Tinggi (Oberlandesgericht) dan Mahkamah Agung Federal (Bundesgerichtshof).
2. Pengadilan Tenaga Kerja menangani sengketa perdata yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta sengketa antara kedua mitra ketenagakerjaan yakni majikan dan syarikat pekerja. Memiliki tiga instansi pada tingkat wilayah, negara bagian dan federal.
3. Pengadilan Tata Usaha menangani semua perkara publik di bidang hukum administrasi negara. Dengan instansi di tingkat wilayah, bagian dan federal.
4. Pengadilan Sosial menangani semua persengketaan yang berkenaan dengan asuransi wajib jaminan sosial. Juga memiliki tiga Instansi seperti Pengadilan Tata Usaha.
5. Pengadilan Urusan Keuangan mengurusi perkara yang menyangkut pajak dan retribusi.
literatur :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman
2. http://www.anneahira.com/dunia/index.htm
3. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_German_institutions
4. http://en.wikipedia.org/wiki/Judiciary_of_Germany
Sunday, November 15, 2009
Wednesday, November 11, 2009
awali harimu dengan senyuman,jalani hidupmu dengan kenyakinan teruslah berusaha,berkarya untuk bangsa dengan ketekunan dan semangat yang tinggi insyallah semua keinginan dan harapan akan tercapai
Subscribe to:
Posts (Atom)