dbclix.com

DbClix

Monday, January 25, 2010

PERBANDINGAN MEKANISME PENGISIAN GUBERNUR DI DAERAH OTONOMI KHUSUS
ACEH DAN PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Yang menjadi latar balakang diberikannya otonomi khusus di Aceh dan Papua oleh pemerintah pusat itu disebabkan terjadinya konflik di dua daerah tersebut dimana kedua daerah tersebut sama-sama di diskriminalisas atau di perlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat. Timbulnya konflik di Aceh dilatar belakangi setidak-tidaknya ada dua fenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976 dengan melakukan perlawanan politik bersenjata. Dengan sistem komando yang sistematis dan mempunyai operator-operator bersenjata untuk membawa gagasan kemerdekaan Aceh. Terjadi perlawanan nyata, kekerasan dilawan dengan kekerasan. Senjata berhadapan dengan senjata. Juga ada perang opini dalam rangka memenangkan misi diplomatik di dunia internasional. Persoalan Aceh lebih di dominasi konflik kekerasan dua belah pihak. Walaupun benturan kultural coba diangkat sebagai isu, namun belum mampu menjadi perlawanan kultural dari etnis rakyat Aceh. Dan adanya persepsi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bahwa Aceh itu bukan wilayah dari NKRI karena Aceh itu sudah terlebih dahulu berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat yang terpisah dari indonesia. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah. Rakyat Aceh dengan hasil alamnya yang berlimpah tapi masyarakatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan berbeda jauh dengan elit-elit di Jakarta, sehingga melatar belakangi lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan terjadinya pengantian nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam dan sekarang telah diubah lagi namanya menjadi Provinsi Aceh berdasarkan Pergub nomor 46 tahun 2009.
Begitu juga halnya dengan konflik di Papua terdapat juga pergerakan melawan pemerintah pusat yang disebut Organisasi Papua Mardeka (OPM) untuk mencapai impianya menjadikan daerah Papua sebagai sebuah negara yang mardeka yang terpisah dari NKRI. Konflik yang terjadi di Papua kalaupun ada tidak sehebat yang terjadi di Aceh bahkan jarang terdengar, akan tetapi konflik di Papua bergerak pada perlawanan kultural, bukan dengan senjata walaupun ada juga perlawanan yang di lakukan dengan senjata tapi itu sangat kecil karena keterbatasan senjata yang dimiliki oleh OPM (Organisasi Papua Mardeka) namun perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Papua dipicu oleh rasa ketidakadilan sosial dan ekonomi. Proses marginalisasi terhadap peran rakyat papua selama ini. Demikian pula kebijakan otonomi yang tidak konsisten dan tidak diterapkan dengan baik serta bertanggung jawab adalah alasan kuat untuk jadi picu perlawanan dengan solidaritas kultural. Dan ada gagasan dari suatu gerakan yang menganggap bahwa masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia tersebut tidak sah, baik di dalam negeri maupun di luar. mereka tidak melakukan perlawanan dengan senjata tapi mereka berwujud pendiskusian gagasan sehingga banyak dari mereka yang melarikan diri ke Australia untuk menghindari konplik. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meredam perlawanan yang di lakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) yaitu dengan memberikan status Otonomi khusus untuk Papua yang terdapat dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2001.




B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari permasalahan yang cukup komplek antara Papua dengan Aceh dimana kedua daerah tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya yang di sebabkan konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka permasalahan yang ingin saya kaji adalah :

1. Bagaimana mekanisme pengisian jabatan Gubernur di Aceh dan Papua berdasarkan otonomi khusus
2. Apa yang menjadi syarat-syarat untuk dapat menjadi Gubernur di Aceh dan di Papua dan bagaimana perbandingannya di kedua daerah tersebut




C. TUJUAN DAN PENDEKATAN MASALAH

Tujuan dan ruang lingkup dari penulisan makalah ini khususnya mengenai perbandingan antara otonomi khusus di Aceh dengan di Papua yaitu mengenai kedudukan kepala pemerintahan dan fungsi serta kewenangan dalam menjalankan pemerintahan di tingkat daerah dan berdasarkan uraian di atas yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. untuk dapat mengetahui bagaimanakah mekanisme pengisian jabatan Gubernur di Aceh dan Papua berdasarkan otonomi khusus
2. untuk mengetahui apa saja yang menjadi syarat-syarat untuk dapat menjadi Gubernur di Aceh dan Papua dan bagaimana perbandingannya.




BAB II
OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
NEGARA INDONESIA


A. OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA
Otonomi khusus yang yang diberikan oleh Negara Kesatuan Repoblik Indonesia kepada daerah-daerah ditiap provinsi sebagai pengakuan untuk menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-Undang. Daerah-daerah yang di berikan status otonomi Khusus di Indonesia adalah :
1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2. Provinsi Aceh;
3. Provinsi Papua; dan
4. Provinsi Papua Barat.
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
B. DASAR PEMBENTUKAN OTONOMI KHUSUS

1. OTONOMI KHUSUS ACEH
Dalam sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999,mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh.Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui Ketetapan MPR NomorIV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar perubahan (Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) yang relatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa akan berbalik kembali ke arah sentralisasi.
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaanya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dalam mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.
Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.
diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.




2. OTONOMI KHUSUS PAPUA
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151). Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang bercirikan :
1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua





BAB III
MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI ACEH DAN PAPUA
BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS


1. A. MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI ACEH

Mengenai pengisian jabatan Gubernur di Aceh di atur dalam UU no 11 tentang Pemerintahan Aceh dan juga diatur dalam Qanun nomor 7 tahun 2006 tentang pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dalam Pasal 65 ayat (1) UUPA yaitu Gubernur/Wakil Gubernur dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Dan dalam pasal (2) disebutkan Gubernur/Wakil Gubernur memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam Pasal 67 ayat (1) UUPA dan pasal 33 Qanun nomor 7 tahun 2006 Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur diajukan oleh :
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau
d. perseorangan.
Untuk calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang disertai dengan identitas bukti diri dan disertai dengan pernyataan tertulis.




.
1. B. SYARAT-SYARAT CALON GUBERNUR DI ACEH

Syarat untuk dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur Harus memenuhi beberapa syarat yang telah di tentukan dalam pasal 67 ayat (2) UUPA dan pasal 33 ayat (2) Qanun nomor 7 tahun 2006 yaitu sebagai berikut :

a. warga negara Republik Indonesia;
b. menjalankan syari’at agamanya; dan mampu membaca Al-qur’an bagi yang beragama Islam;
c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota; dan
m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

2. A. MEKANISME PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DI PAPUA

Mengenai tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Papua ditetapkan dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua kemudian diatur lebih lanjut dengan Perdasus yang harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur di Papua diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan masa jabatan 5 (lima) tahun melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil dan dapat di pilih kembali untuk masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

2. B. SYARAT-SYARAT CALON GUBERNUR DI PAPUA
Berikut mengenai syarat-syarat yang harus di penuhi untuk dapat di pilih menjadi Gubernur di Provinsi Papua adalah sebagai berikut ;
a. orang asli Papua;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
d. berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.


B. PERBANDINGAN MENGENAI MEKANISME PENGISIAN KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG KEPALA DAERAH DI ACEH DAN PAPUA

Pertama ; mekanisme pengisian kepala pemerintah daerah di Aceh di atur dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di atur lebih luas lagi dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan otonomi seluas-luasnya untuk Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dan selanjutnya di atur dalam Qanun, Sedangkan di Papua mengenai mekanisme pengisian kepala pemerintah daerah di Papua di atur dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang selanjutnya diatur dalam Perdasus

Kedua : untuk pemilihan gubernur di Aceh pasangan calon Gubernur dapat di ajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik, partai politik lokal dan calon perorangan sedangkan untuk pemilihan Gubernur di Papua pasangan calon harus diajukan oleh partai politik tidak boleh calon dari perorangan

Ketiga : tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: harus orang asli Papua, berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara, berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; sedangkan di Aceh sebagaimana di tentukan dalam pasal 67 ayat (2) UUPA dan juga di atur dalam Qanun nomor 7 tahun 2006 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur harus memenuhi syarat yaitu warga negara Repoblik Indonesia menjalankan syariat agamanya dan mampu membaca Al-Quran bagi yang beragama Islam, berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat; berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun, tidak pernah melakukan tindak pidana yang di ancam 5 tahun penjara kecuali tindak pidana makar dan politik yang telah memperoleh Amnesti/Rehabilitasi.


BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan hasil uraian yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang telah disinggung pada bab terdahulu, pada bab penutup ini dapat saya kemukakan beberapa kesimpulan mengenai Otonomi Khusus di Aceh dan Papua yaitu sebagai berikut :


A. KESIMPULAN
Pertama ; Dari segi struktur kultural sangat berbeda antara Aceh dengan Papua dimana sebagian masyarakat papua berkulit hitam dan memeluk kristen sebagai agamanya sementara itu di Aceh masyarakatnya tergolong berkulit coklat dan beragama islam dengan menjalankan syariat islam sehingga kedua daerah tersebut di berikan otonomi khusus yang berbeda-beda antara Papua dengan Aceh kerena daerah otonomi tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda mulai adat-istiadat,suku dan ras dan bahasa yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainya.
Kedua ; Latar belakang diberikan Otonomi Khusus di Aceh itu di sebabkan Oleh Konflik antara Gerakan Aceh Mardeka (GAM) tahun 1976 dengan pemerintah pusat sehingga lahirnya UU no 18 tahun 2001 tentang Otonomi Aceh dan setelah musibah Gempa dan Tsunami dan adanya kesepakatan damai MoU Helsinki di berikannya Otonomi seluas-luasnya kepada Aceh dalam UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, di Papua di berikannya Otonomi Khusus di latar belakangi oleh perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM) karena mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat sehingga di berikannya Otonomi Khusus Untuk Papua dalam UU nomor 21 tahun 2001.
Ketiga ; untuk pemilihan gubernur di Aceh pasangan calon Gubernur dapat di ajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik, partai politik lokal dan calon perorangan sedangkan untuk pemilihan Gubernur di Papua pasangan calon harus diajukan oleh partai politik tidak boleh calon dari perorangan
Keempat ; Syarat untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Aceh yaitu warga negara Indonesia yang menjalankan syariat agamanya dan pendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas sedangkan syarat untuk dapat menjadi Kepala daerah (Gubernur) di Papua harus orang asli Papua dan pendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau setara dengannya.(ikhz)











DAFTAR PUSTAKA


BUKU-BUKU
DR. Husni Jalil, S.H, M.H, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam negara Kesatuan RI berdasarkan UUD 1945,CV Utomo, Bandung, 2005
Ni’Matul Huda S.H, M.Hum, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Undang undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Website
1. www.google.com\otonomi khusus\Menggugat Implementasi Otonomi Khusus di Papua.htm
2. www.google.co.id\Otonomi Khusus di Aceh dan Papua.htm
3. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5469&coid=3&caid=21&gid=2
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua

No comments:

Post a Comment